TEMPO.CO, Makassar - Muktamar Muhammadiyah ke-47 yang digelar di Makassar mulai Senin, 3 Agustus 2015, diharapkan tak sekadar menjadi ajang pemilihan ketua umum yang baru. Sejumlah kader menginginkan agar muktamar juga menghasilkan putusan monumental dan bersejarah untuk memperkuat perjuangan organisasi sosial keagamaan tersebut pada masa depan.
"Semoga bisa membuahkan dentuman bersejarah sebagaimana putusan muktamar tahun 1971 di Yogyakarta," kata pengurus Lembaga Hikmah dan Kebijakan Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sulawesi Selatan, Adi Suryadi Culla, di Makassar, Jumat, 31 Juli 2015.
Muktamar Yogyakarta pada 1971 selalu menjadi rujukan karena mampu menghasilkan keputusan yang fundamental, yakni netral dan tidak berafiliasi dengan partai politik. Sikap itu bertahan hingga kini seiring dengan fokusnya Muhammadiyah pada wilayah sosial.
Menurut Adi, muktamar di Makassar adalah momen yang pas untuk mengevaluasi sikap yang diputuskan di Yogya 44 tahun lalu. Sikap Muhammadiyah waktu itu, kata dia, tidak lagi relevan dengan perkembangan zaman sekarang. Saat ini Muhammadiyah seharusnya mempertajam pandangan politiknya agar dapat lebih berperan dalam menentukan arah bangsa dan umat bernegara.
Adi, yang juga dosen ilmu politik di Universitas Hasanuddin, berpendapat bahwa arah kebijakan negara dipengaruhi kekuatan aktual sosial dan politik. Jika Muhammadiyah ingin rumusan pemikirannya dipertimbangkan, pergerakan politik mutlak diperlukan. "Bukan bermaksud memenuhi syahwat politik," ujarnya. Adi mencontohkan situasi saat ini ketika suara Muhammadiyah cenderung tidak didengar pemerintah. "Buktinya, di kabinet Presiden Jokowi, tidak ada orang Muhammadiyah."
Menurut Adi, perubahan orientasi tidak mutlak diikuti dengan pembentukan partai politik. Setidaknya, dia melanjutkan, ada perubahan pandangan agar bisa menghadapi tantangan. "Agar kita juga memiliki pengaruh besar. Arah kebijakan tidak lahir dari ruang hampa."
AAN PRANATA