TEMPO.CO - SUDAH 403 kali Bedjo Untung mengikuti “Kamisan”. Aksi berdiri mematung di depan Istana Merdeka, Jakarta, itu dilakukan saban Kamis sore sejak delapan tahun silam. Bedjo menganggap kegiatan itu sebagai cara berjuang alternatif agar pemerintah menuntaskan kasus pelanggaran berat hak asasi manusia masa lalu.
Bedjo adalah korban tragedi 1965. Dia diciduk Tim Kalong—tim yang dibentuk militer untuk menyapu anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia—di dekat pusat belanja Sarinah, Jakarta, pada Oktober 1970. Bedjo dianggap sebagai keturunan PKI. Tanpa proses pengadilan, Bedjo diterungku selama 10 tahun oleh rezim Orde Baru.
Di depan Istana, lelaki yang kini berusia 67 tahun itu tak sendirian berunjuk rasa. Ada puluhan korban pelanggaran hak asasi lain yang juga mencari keadilan. “Kalau diam saja, kasus pelanggaran HAM bisa terkubur,” kata Bedjo pada Kamis, 16 Juli lalu. “Kami melawan lupa.”
Mugiyanto, korban penculikan Tim Mawar dari Komando Pasukan Khusus pada 1998, ada di antara mereka. Sebagaimana Bedjo, Mugiyanto berharap pemerintah tak lagi abai terhadap kasus-kasus hak asasi. “Berkas kasusnya sudah mondar-mandir dari Komnas HAM. Dari dulu tak ada political will untuk mengusutnya,” ujar pria yang juga salah seorang penggagas aksi “Kamisan” ini.
Para korban pelanggaran hak asasi kini menagih janji Presiden Joko Widodo. Dalam kampanyenya saat pemilihan presiden, Jokowi bertekad bakal menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat yang tertunggak.
Kini, setelah hampir satu tahun pemerintahannya berjalan, Jokowi memerintahkan para pembantunya untuk bergerak. Ia meminta Jaksa Agung M. Prasetyo dan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Tedjo Edhi Purdijatno untuk merumuskan cara penyelesaian utang masa lalu itu. Sudah tiga kali Prasetyo dan Tedjo duduk semeja dengan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. “Keseriusan pemerintah terlihat saat pertama kali pertemuan langsung bertanya apa langkah konkretnya,” kata Ketua Komnas HAM Nur Khoiron.
Pertemuan pertama digelar pada 21 April 2015 di Kejaksaan Agung. Menurut Khoiron, dalam tatap muka perdana itu langsung muncul gagasan membentuk komisi gabungan. “Tapi bentuknya seperti apa, masih kami bicarakan,” kata dia. Dalam gagasan awal, komisi itu diisi perwakilan instansi yang hadir dalam pertemuan, yakni Komnas HAM, Kejaksaan Agung, Polri, dan Tentara Nasional Indonesia. Kecuali Komnas HAM, peserta pertemuan sepakat mengakhiri masalah dengan rekonsiliasi. Komisi hak asasi sendiri ingin membawa enam kasus pelanggaran HAM berat masa lalu ke meja hijau.
Khoiron sadar lembaganya bisa terpeleset bila menyetujui pembentukan komisi gabungan. Alih-alih menuntaskan kasus, kebenaran sejarah tak pernah terungkap. “Harus ada hukuman yang setimpal dulu, proses yang fair di pengadilan, harus ada ganti rugi, dan seterusnya,” ujarnya.
Selanjutnya >> Tarik-ulur cara rekonsiliasi...