TEMPO.CO, Karubaga - Ali tersenyum semringah. Sebaris gigi dan bibirnya nampak merah setelah habis mengunyah pinang. Pria 38 tahun ini baru saja membuka kembali tokonya yang terletak di Pasar Muara Giling Batu, Kabupaten Tolikara, Provinsi Papua, Kamis pagi, 23 Juli 2015.
"Pukul 07.00 tadi, saya sudah buka toko. Sudah lima hari toko saya tutup karena kerusuhan," kata Ali kepada Tempo.
Pria asal Bone, Sulawesi Selatan, ini menutup toko pakaian yang dikelolanya sejak 2002 karena khawatir rusuh merambah ke tokonya. "Belum pernah terjadi seperti ini di Tolikara. Pernah ada perang suku, tapi itu antarmereka. Namun, Jumat lalu, para pendatang diserang. Toko saya juga rusak dilempari batu," ucap Ali sambil menunjuk ke arah sudut daun pintu yang baru diperbaiki.
Meski sudah membuka tokonya, keluarganya masih trauma sehingga belum kembali ke Tolikara. "Keluarga saya yang perempuan sekarang di Bone dan ada di Wamena. Mereka takut pulang ke sini," ujarnya.
Ia membuka tokonya karena yakin keadaan Tolikara sudah aman. "Begitu toko dibuka tadi pagi, sudah datang pembeli, alhamdulillah."
Di Jalan Irian, beberapa meter dari bangunan Gereja Injili di Indonesia (GIDI) Yerusalem, warung makan Mega Syukur dipenuhi warga yang ingin membeli sarapan. Warung milik perantau Palopo, Sulawesi Selatan ini mengaku tutup sejak kerusuhan pada Jumat pekan lalu.
Sebelumnya, pemilik toko bahan bangunan bermarga Panjaitan sudah membuka tokonya sejak Rabu, 22 Juli 2015. "Sudah ramai pembeli. Saya tinggal di rumah saja, menunggu situasi aman," ujar Panjaitan, Rabu malam, 22 Juli 2015.
Amuk massa terjadi setelah ratusan peserta seminar kebaktian kebangunan rohani internasional yang diadakan GIDI memprotes umat Islam yang dianggap tidak mengindahkan surat edaran pengurus GIDI wilayah Tolikara agar mengadakan salat id di musala. Massa marah dan terjadi pelemparan batu yang disambut tembakan petugas kepolisian dari arah lokasi salat id, lapangan Koramil.
MARIA RITA