TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi memanggil bekas Direktur Utama PT Pos Indonesia, I Ketut Mardjana. Ia diperiksa dalam kasus dugaan korupsi pengadaan paket penerapan kartu tanda penduduk berbasis nomor induk kependudukan secara nasional atau KTP elektronik (e-KTP). ”Diperiksa sebagai saksi dalam kasus e-KTP,” ujar Kepala Bagian Pemberitaan dan Informasi KPK Priharsa Nugraha melalui pesan pendek, Senin, 22 Juni 2015.
Setelah diperiksa, I Ketut Mardjana kaget dan gugup melihat wartawan. Saat keluar dari pintu KPK, Ketut langsung berlari sambil menunduk dan menutupi wajahnya. Dia bahkan sempat mendorong sekelompok juru kamera sebelum masuk mobil. Ketut sama sekali tak memberikan keterangan kepada wartawan ihwal pemeriksaannya.
Dalam kasus e-KTP, KPK menetapkan seorang tersangka, yaitu Sugiharto, pegawai Kementerian Dalam Negeri. Sugiharto merupakan pejabat pembuat komitmen proyek senilai Rp 6 triliun itu. Hari ini KPK juga memeriksa saksi lain, yakni bekas Direktur Operasi Surat Pos dan Logistik Pos Indonesia, Ismanto.
Berbeda dengan Ketut, Ismanto mau berbicara kepada wartawan. Dia menjelaskan, pemeriksaan terhadap dia terkait dengan distribusi e-KTP. ”PT Pos merupakan distributor e-KTP. Jadi tadi saya ditanya tentang distribusi,” kata Ismanto. Menurut dia, penyidik KPK bertanya ihwal teknis distribusi. ”PT Pos mengantar hingga satu juta kilogram e-KTP.”
Ismanto membantah jika pertanyaan penyidik disebut berkaitan dengan kasus korupsi kartu identitas itu. Dia mengatakan tak mengenal Sugiharto. Saat ditanya perihal dugaan aliran duit dari konsorsium pemenang proyek e-KTP ke PT Pos, Ismanto menggeleng. ”Saya tak tahu,” katanya.
Selain memeriksa Ketut dan Ismanto, KPK memeriksa Eddy S. Ginting, karyawan PT Maturnuwun Nusantara, dan Debby Susanti, yang bekerja di PT Transdata Global Network.
Priharsa mengatakan pemeriksaan para saksi itu dilakukan untuk melengkapi berkas perkara tersangka. ”Semuanya berkaitan. Pihak-pihak yang bisa memperjelas dugaan tindak pidana korupsi dimintai keterangan,” kata Priharsa.
MUHAMAD RIZKI