TEMPO.CO, Purwakarta - Cepi Wahdan, 12 tahun, warga Kampung Cisuren, Desa Pasir Jambu, Kecamatan Maniis, Purwakarta, Jawa Barat, tampak duduk bersila di atas gelaran tikar yang sudah lusuh di ruang tengah rumah neneknya, Ijah, yang berukuran 7 x 6 meter dan baru setengah jadi itu.
Bagian kepalanya yang ditutupi peci hitam butut terus ditekuknya. Mukanya, yang penuh bintik hitam, juga terus "disembunyikannya". Mulutnya tak henti berkomat-kamit memanjatkan doa di hari pertama Ramadan yang penuh hikmah.
Ia tak sedang sedih, melainkan merasa rendah diri karena memiliki wajah dan sekujur tubuhnya yang tak jamak. "Dia malu karena sekujur tubuhnya ditumbuhi bintik-bintik hitam," kata ayahnya, Opa, ketika ditemui Tempo, Kamis, 18 Juli 2015.
Bintik hitam itu mulai tumbuh sejak usianya masih tiga tahun. "Awalnya dia menderita turuwisen (benjolan kecil di bagian bibir mata kiri), tapi tak keburu diobati, kemudian panas sekujur tubuhnya dan langsung muncul bintik-bintik hitamnya itu," Opa mengisahkan.
Opa mengaku sudah mengobati anak keempat dari lima saudara itu ke beberapa puskesmas dan rumah sakit, termasuk melakukan pengobatan alternatif. Tetapi, tak ada hasilnya. Akhirnya ia angkat tangan karena kehabisan biaya.
Hingga Cepi menginjak usia 10 tahun, pangkal penyakit bernama turuwisen yang dideritanya itu terus membengkak hingga berdiameter 10 sentimeter. Bintik-bintik hitamnya pun makin menjalar ke mana-mana dan terasa gatal dan perih jika terkena keringat.
Keluarganya nyaris putus asa. Tetapi, pada tahun 2010, Pemerintah Kabupaten Purwakarta turun tangan mengatasi penderitaan anak yang harus rela putus sekolah di bangku kelas II SD tersebut. Cepi berhenti sekolah karena merasa rendah diri atas penyakitnya tak kunjung sembuh.
Setelah diperiksa intensif di rumah sakit khusus mata Cicendo dan rumah sakit umum Hasan Sadikin, Bandung, barulah diketahui bahwa penyakit yang diderita Cepi adalah kanker kulit ganas. Keputusan pun diambil. Benjolan di bagian mata kirinya yang sudah menutupi penglihatannya itu harus disingkirkan lewat bedah.
Sebelum melakukan operasi, Cepi harus menjalani masa perawan intensif selama sebulan lebih, "Agar segala sesuatunya berjalan mulus," kata Wahyudin, kepala puskesmas yang terus mendampingi Cepi selama menjalani pengobatan di rumah sakit Hasan Sadikin.
Dan saat operasi dilakukan, semuanya berjalan dengan baik. Akan tetapi, bintik-bintik hitam di sekujur tubuhnya tetap tak bisa disembuhkan. Bahkan, kini, dua tahun setelah operasi, benjolan yang sama muncul pada tengkuk lehernya. Besar benjolannya baru sebesar bola pingpong.
Cepi pada Selasa, 16 Juni 2015, meminta kepada bapaknya untuk dipertemukan dengan Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi. Alasannya, di sisa umurnya yang diperkirakan tak panjang lagi itu ia ingin melihat, mengobrol, dan bersalaman langsung dengan bupati yang selalu berpakaian nyentrik khas Sunda yang diidolakannya itu.
"Saya juga ingin meminta kambing dan menggembalannya agar saya tidak terus mengurung diri di rumah," kata Cepi dengan mata berkaca-kaca.
Dedi, yang mendapat laporan stafnya dua hari kemudian, merespons semua keinginan Cepi. Dia datang sendiri ke rumah Cepi sambil membawa tiga kambing seperti dipesan Cepi.
Dedi juga menyerahkan uang tunai sebesar Rp 5 juta dan berjanji untuk membedah kembali tumor ganas yang tumbuh di tengkuk leher Cepi secara gratis melalui operasi di rumah sakit Hasan Sadikin. "Pokoknya semua biayanya kami tanggung," ujar Dedi.
Dedi mengaku mengagumi Cepi karena dengan ketidakberdayaannya dia masih memiliki secercah harapan yang disongsongnya dengan penuh semangat. "Kami berharap Allah memanjangkan umurnya dan menyembuhkan penyakit kanker akutnya itu dengan berkah Ramadan," Dedi menyanjungkan doanya.
Cepi tampak menahan rasa bungahnya dengan terus menundukkan kepala seraya kembali memanjatkan doa-doanya. "Alhamdulillah akhirnya nazar saya kesampaian," Cepi bersyukur sambil menengadahkan tangannya. "Saya pun bisa menggembala kambing."
NANANG SUTISNA