TEMPO.CO, Denpasar - Agar kematian Angeline tidak sia-sisa dan kasusnya tak terulang kembali, Komnas Perlindungan Anak akan menjadikan bocah malang itu sebagai simbol perlawanan terhadap kekerasan pada anak.
“Kita sudah mengkontak Pak Wali Kota Denpasar dan beliau setuju dengan gagasan ini,” kata Ketua Komnas Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait, Kamis, 18 Juni 2015, di Polda Bali.
Rencananya akan ada upacara khusus untuk acara itu pada Sabtu, 20 Juni 2015, di rumah bocah korban penyiksaan dan penelantaran bocah Angeline di Jalan Sedap Malam, Sanur.
Arist mengundang siapa saja yang ingin berpartisipasi dalam acara itu sekaligus mengobarkan tekat agar tidak ada lagi anak yang menderita seperti Angeline.
Terkait dengan kasus Angeline, Arist mengingatkan pada siapa pun yang melakukan adopsi anak agar mematuhi prosedur yang berlaku. Terutama keharusan untuk meminta rekomendasi Dinas Sosial dan meminta pengesahan ke pengadilan negeri. Bila tidak, akta notaris mengenai pengangkatan anak bisa dinyatakan batal.
Arist juga mempertanyakan keberadaan akta notaris tentang pengangkatan anak yang dinilainya telah memotong hak anak. Misalnya, pasal yang menyebut sampai usia 18 tahun Angeline tidak boleh bertemu dengan ibu kandungnya. “Ini sebenarnya sudah melepas hak anak,” ujarnya.
Begitu juga ketentuan orang tua angkat boleh memberikan nama kepada Angeline yang sebenarnya merupakan hak orang tua kandungnya.
Ibu angkat Angeline, Margriet Christina Megawe, ditetapkan sebagai tersangka oleh Kepolisian Daerah Bali pada Minggu pagi, 14 Juni 2015, atas kasus penelantaran Angeline.
Ayah kandung Angeline, Achmad Rosyidi, kecewa dengan langkah polisi yang menetapkan Margriet sebagai tersangka kasus penelantaran anak. "Saya belum puas. Seharusnya dia dikaitkan dengan pembunuhan," kata Achmad di Kuta, Ahad, 14 Juni 2015. "Siapa dalangnya, harus diungkap."
ROFIQI HASAN