TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Perikanan DPR mengadakan rapat dengar pendapat dan konsultasi publik Rancangan Undang-Undang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan dan Pembudidaya.
Wakil Ketua Komisi Perikanan Herman Khaeron mengatakan undang-undang tersebut dibuat sebagai solusi peraturan menteri yang selama ini menuai kontroversi. "Ini merupakan jawaban dari aturan menteri yang banyak menuai protes," ujar Herman, ketika membuka rapat dengar pendapat di Kompleks Parlemen Senayan, Senin, 15 Juni 2015.
Herman mengatakan adanya RUU tersebut diharapkan tidak bertabrakan dengan aturan sebelumnya. Sebab, Herman mencontohkan, keberadaan Bakamla yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan, mitra kerjanya berada pada Komisi Pertahanan DPR.
"Kami juga tidak ingin bertabrakan, sehingga kami ingin mendengar berbagai masukan," ujar Herman. Dia berharap RUU ini dapat memberikan kejelasan terhadap kesejahteraan nelayan dan pembudidaya.
Mantan Menteri Kelautan pada Kabinet Gotong Royong Rokhmin Dahuri mengatakan untuk bisa mensejahterakan nelayan dan pembudidaya ikan, sektor perikanan seharusnya bukan hanya dianggap sebagai sektor ekonomi. "Melainkan sebagai sektor kehidupan juga," ujar Rokhmin.
Rokhmin Dahuri menyambut baik adanya RUU ini. Menurut dia, nuansa yang dihadirkan dalam RUU tersebut sudah tepat karena adanya intervensi pemerintah. "RUU ini sangat tepat nuansa intervensi pemerintah untuk mensejahterakan nelayan dan pembudidaya," ujar dia.
Komisi Perikanan DPR mengadakan rapat dengar pendapat dengan para pakar kelautan. Masukan dari para pakar, kata Herman, diharapkan dapat mengisi bolong-bolongnya RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan dan Pembudidaya yang masuk dalam daftar Prolegnas 2015. Rencananya undang-undang tersebut rampung pada tahun ini.
DEVY ERNIS