TEMPO.CO, Medan - Panglima Tentara Nasional Indonesia pengganti Jenderal Moeldoko yang akan mengakhiri masa jabatannya pada 1 Agustus 2015 masih belum diputuskan oleh Presiden Joko Widodo.
Berdasarkan Pasal 13 ayat 4 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, panglima tertinggi tentara dapat dijabat secara bergantian oleh perwira tinggi aktif dari tiap angkatan yang sedang atau pernah menjabat sebagai kepala staf angkatan.
Jika mengacu pada bunyi ketentuan tersebut, maka setelah Moeldoko yang dari matra darat mengakhiri tugasnya, penggantinya adalah Kepala Staf TNI Angkatan Udara Marsekal Agus Supriatna. Sebab sebelum Moeldoko, Panglima TNI adalah Laksamana Agus Suhartono dari Angkatan Laut.
Namun Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Tedjo Edhi Purdijatno berpendapat sistem rotasi itu bisa saja diabaikan Presiden Jokowi. Pergantian Panglima TNI, menurut Tedjo, memang bisa bergiliran, namun belum tentu rotasinya dari matra darat langsung ke matra udara.
"Dalam undang-undangnya dapat bergantian. Mestinya giliran panglima TNI saat ini dari Angkatan Udara. Namun semua bergantung ke Presiden. Yang paling penting Panglima TNI dapat mendukung visi dan misi pemerintahan saat ini," kata Tedjo di Medan, Sumatera Utara, Senin, 8 Juni 2015.
Pergantian Panglima TNI, menurut Tedjo, harus mempertimbangkan banyak hal termasuk kemampuan panglima tersebut dalam mendukung visi misi pemerintahan. "Bisa saja Presiden Joko Widodo menujuk pengganti Moeldoko dari matra darat atau laut dan tidak harus didasari rotasi atau giliran, tapi lebih kepada kemampuan mendukung visi misi pemerintah," ujar Tedjo.
Selain Marsekal Agus, dua kandidat pengganti Moeldoko lainnya adalah Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal Gatot Nurmantyo dan Kepala Staf TNI Angkatan Laut Laksamana Ade Supandi. "Dua kepala staf aktif saat ini selain Kepala Staf TNI AU juga memiliki kesempatan yang sama sebagai Panglima TNI pengganti Moeldoko," ujar Tedjo.
SAHAT SIMATUPANG