TEMPO.CO, Semarang - Pengamat Komunikasi Politik Universitas Diponegoro Semarang, Jawa Tengah, Turnomo Rahardjo menilai model kampanye yang digunakan calon kepala daerah saat ini terlalu normatif dan tak terukur. Bahkan, kata dia, kampanye cenderung monoton dengan memasang foto dengan tagline yang tak jelas di baliho maupun poster-poster yang dipasang di pepohonan.
“Ini yang membuat kampanye para calon cenderung menjadi sampah visual di ruang publik,” kata Turnomo dalam seminar “Komunikasi Politik di Era Pilkada” yang diselenggarakan Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia (ISKI) Jawa Tengah di kampus Universitas Diponegoro Semarang, Kamis 28 Mei 2015.
Di forum itu, Turnomo menunjukan beberapa poster calon yang buruk. Misalnya: bakal calon Mahfudz Ali menggunakan tagline: 'Layani Warga, Benahi Kota'. Dalam pilkada 2010, Mahfud juga sudah maju tapi kalah. Saat itu, Mahfud juga menggunakan tagline yang sama persis.
Pasangan Soemarmo-Syafi’I menggunakan tagline: Menuju Semarang Berkah”. Bambang Husodo tagline kampanyenya adalah: “Semarang Bisa Berkembang”. Adapun Handar Prihadi-Widhi bertagline: “Wadah Insan Demokrasi Hebat Indonesia”.
Hevearita Gunaryanti Rahayu atau yang akrab dipanggil Mbak Ita yang merupakan calon dari perempuan menggunakan tagline: “saatnya wanITA ikut andil dalam pilwakot Semarang.
Turnomo menyebut tagline yang disampaikan bakal calon sangat normatif, tidak membumi dan tidak terukur. Ini menjadi tanda bahwa bakal calon kepala daerah tidak menggunakan data dalam komunikasi politik kepada publik.
“Kalau ingin diperhatikan dalam pesan politik ke publik maka harus berbasis data,” kata Turnomo. Problem-problem kemasyarakat di Semarang sangat banyak sehingga harus dipilah untuk menjadi pesan kampanye di pilkada.
ROFIUDDIN