TEMPO.CO, Jakarta - Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Badan Reserse Kriminal Polri melakukan gelar perkara dengan Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Senin siang, 18 Mei 2015. Gelar perkara di gedung PPATK itu dilakukan untuk mengetahui aliran dana penjualan kondensat yang melibatkan PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI) dan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas).
"TPPI mengambil keuntungan US$ 1 miliar. Ke mana saja uang ini?" kata Direktur Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Brigadir Jenderal Victor Edi Simanjuntak di Mabes Polri, Senin, 18 Mei 2015.
Victor menjelaskan kepada PPATK, SKK Migas menjual kondensat bagian negara kepada TPPI senilai US$ 3 miliar. Kemudian TPPI menjualnya kembali seharga US$ 4 miliar, sehingga untung US$ 1 miliar.
Padahal, kata Viktor, TPPI mempunyai utang ke negara sebanyak US$ 140 juta ditambah biaya penalti US$ 3 miliar. "Sudah untung US$ 1 miliar, kenapa utangnya tidak dibayar? Mengalir ke mana saja uangnya?" ujarnya.
Karena itu, Bareskrim bakal memeriksa saksi-saksi yang terkait dengan pembukuan keuangan TPPI. Sebab hingga saat ini Bareskrim baru menerima sebagian laporan keuangan perusahaan itu. "Seharusnya soal uang itu ada di buku besar mereka," ucap Victor.
Baca Juga:
Adapun tiga tersangka telah ditetapkan dalam kasus ini. Yakni mantan Kepala Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas), Raden Priyono; mantan Deputi Finansial Ekonomi dan Pemasaran BP Migas, Djoko Harsono; serta pendiri TPPI, Honggo Wendratmo. Penyidik memeriksa enam saksi hari ini.
Kasus ini bermula pada 2009. Kala itu BP Migas (SKK Migas) menunjuk langsung TPPI dalam penjualan kondensat bagian negara. Tindakan ini dinilai melanggar keputusan BP Migas Nomor KPTS-20/BP00000/2003-50 tentang pedoman tata kerja penunjukan penjual minyak mentah bagian negara.
Keputusan BP Migas Nomor KPTS-24/BP00000/2003-S0 tentang pembentukan tim penunjukan penjualan minyak mentah bagian negara juga dilanggar. Negara diperkirakan merugi Rp 2 triliun.
DEWI SUCI RAHAYU