TEMPO.CO , Surabaya: Nilai ekspor Jawa Timur meningkat menjadi US$ 1,593 juta (Rp 20,8 miliar) atau naik 6,34 persen dibanding bulan lalu yang hanya US$ 1,498 juta saja (Rp 19,6 miliar). Kenaikan ini dipicu stabilitas ekspor perhiasan pada April yang terus merangkak naik dan belum adanya pengaruh kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) non subsidi.
Kepala Bidang Statistik Distribusi Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Timur, Satriyo Wibowo mencatat secara akumulasi sejak Januari hingga April justru terjadi penurunan ekspor 2 persen. Pada tahun ini nilai ekspor US$ 6,368 juta (Rp 83,3 miliar) atau sedikit lebih rendah di banding periode yang sama pada tahun lalu, hanya USD 6,498 juta (Rp 85 miliar).
“Memang kenaikan BBM (Bahan Bakar Minyak) dan harga tiket kereta api beberapa waktu yang lalu cukup berdampak pada inflasi,” tuturnya kepada wartawan saat menggelar konferensi pers di kantornya, Jumat, 15 Mei 2015.
Meski begitu, kata Wibowo, ekspor migas Jawa Timur mengalami kenaikan 50,49 persen. Menjadi US$ 50,77 juta atau melonjak dibanding pada Maret lalu yang hanya US$ 33,74 juta saja.
Sementara untuk ekspor non migas Jawa Timur, mencapai US$ 1,5 juta atau naik 5,3 persen dibanding bulan lalu yang hanya US$ 1,4 juta. Ekspor non migas ini didominasi komoditas perhiasan yang mencapai US$ 339,8 juta, diikuti lemak dan minyak hewan senilai US$ 123 juta, dan udang US$ 94,46 juta. “Untuk perhiasaan itu didominasi perhiasaan dari logam mulia,” katanya.
Kebanyakan ini dikirim ke Jepang dengan nilai US$ 215 juta, Amerika Serikat US$ 177,9 juta, dan Taiwan US$ 163 juta.
Sementara untuk impor juga mengalami kenaikan 3,04 persen atau menjadi US$ 1,760 juta dibanding Maret lalu senilai US$ 1,708 juta. Bahkan impor migas mengalami lonjakan 33,66 persen. “Pada Maret lalu hanya US$ 301,7 juta tapi pada April ini melonjak menjadi US$ 403,3 juta,” ucapnya.
Terlebih pemerintah pusat memutuskan kembali menaikkan harga BBM non-subsidi. Diperkirakan ini akan berdampak pada inflasi secara tidak langsung. Otomatis sejumlah komoditas akan merangkak naik, mengikuti kenaikan biaya distribusi barang.
Khususnya di kawasan Indonesia Timur. Menurut Wibowo daerah-daerah dengan biaya transportasi tinggi akan mengalami disparitas harga yang signifikan. Di antaranya adalah Kalimantan, Nusa Tenggara, Sulawesi, hingga Papua.
“Dampak signifikan inflasi akan berdampak pada menurunnya daya beli masyarakat,” ujarnya. Dia memperkirakan pada awal Juni mendatang akan terjadi disparitas harga sejumlah komoditas. Khususnya barang-barang dari Jawa yang dikirim ke kawasan Indonesia Timur. “Namun untuk kebutuhan pokok kan tidak bisa dihindarkan,” katanya.
Inflasi dan disparitas harga bisa tertolong dengan banyaknya stok beras. Apalagi di saat menjelang puasa dan lebaran, dia berharap panen raya bisa meredam laju inflasi. “Untuk Jawa Timur masih punya cadangan (beras) yang banyak karena selalu surplus,” tuturnya.
AVIT HIDAYAT