TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Joko Widodo meminta Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Nusron Wahid menggeser profesi tenaga kerja Indonesia dari sebelumnya sebagai pembantu rumah tangga menjadi perawat. Tujuan nya adalah untuk meningkatkan kualitas kesejahteraan serta taraf hidup dan kesejahteraan TKI.
"Banyak perawat asal Indonesia yang menganggur. Jumlahnya 18 ribu orang akibat tidak diberdayakan," kata Nusron di Istana Negara, Jumat, 15 Mei 2015. "Sedangkan kebutuhan tenaga perawat di Timur Tengah mencapai 15 ribu. Jadi ini sebagai solusi mengubah status TKI yang tadinya pembantu rumah tangga menjadi perawat."
Solusi itu, kata dia, juga untuk menanggapi adanya moratorium TKI ke beberapa negara di Timur Tengah. "Ini merupakan jalan keluar. Salah satunya adalah melatih angkatan kerja yang 63 persen itu hanya berpendidikan SD dan SMP dan saat ini hanya bisa menjadi PRT, di-upskill dan upgrade menjadi perawat.
Nusron membandingkan TKI yang berprofesi sebagai pembantu rumah tangga dan hanya digaji sebesar 500 dolar. Jumlah itu sangat sedikit ketimbang menjadi perawat yang dalam sebulan penghasilannya bisa mencapai 4000 dolar.
Upaya yang dilakukan, kata Nusron, adalah dengan memberikan sertifikasi bagi para perawat itu. Sertifikasi itu dinamakan dengan NCLEX-RN (National Council Licensure Examination for Registered Nurses). Sayangnya, saat ini sertifikasi itu baru diterapkan di beberapa negara, yaitu India, Filipina, Hong Kong dan Taiwan.
Selama ini, kata Nusron, perawat Indonesia yang ingin mendapat sertifikasi itu harus datang ke empat negara tersebut. "Itu kan menghabiskan waktu dan juga biaya," ujarnya. Namun atas instruksi Jokowi, bersama dengan Kementerian Badan Usaha Milik Negara, sertifikasi perawat itu akan dipermudah dan dibuka di Indonesia.
"Kami akan memfasilitasi, mendatangkan asesor dari Filipina ke Indonesia. Semua TKI nanti akan diberikan skill keperawatan," ujarnya. "Dan yang ditugaskan adalah rumah sakit Pertamina atau sekolah tinggi kesehatan Pertamina."
REZA ADITYA