TEMPO.CO , Padang : Peneliti Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalan Padang, Feri Amsari mengkritik putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan sebagai obyek praperadilan.
"Menghormati putusan MK itu harus. Namun, mengkritiknya secara akademik adalah kewajiban," kata Feri, Kamis, 30 April 2015.
Putusan Mahkamah Konstitusi itu berkaitan dengan permohonan yang diajukan General Manager Sumatera Light South PT Chevron Pacific Indonesia Bachtiar Abdul Fatah, yang divonis 2 tahun penjara pada Oktober 2013 karena bersalah dalam proyek normalisasi lahan tercemar minyak atau bioremediasi di Riau.
Bachtiar mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. MK mengabulkan sebagian gugatan Bachtiar dan mengubah ketentuan Pasal 77 KUHAP tentang obyek praperadilan. Mahkamah menambahkan penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan sebagai obyek praperadilan.
Menurut Feri, putusan MK itu merusak pola acara hukum pidana. Ini menyebabkan pemberantasan korupsi berada di jalur rumit. Putusan itu, kata dia, lemah dalam melihat konteks pemberantasan korupsi dan penegakan hukum pidana.
"MK tidak membaca potensi terhambatnya upaya pemberantasan korupsi melaui praperadilan," ujarnya.
ANDRI EL FARUQI