TEMPO.CO, Yogyakarta - Kunjungan Duta Besar Australia Paul Grigson ke Yogyakarta untuk menemui komunitas difabel setempat dibatalkan gara-gara memanasnya hubungan diplomatik Indonesia-Australia akibat eksekusi mati dua terpidana kasus narkotika warga negara Australia. “Itu risiko dari dampak hubungan diplomasi itu,” kata Direktur Sasana Integrasi dan Advokasi Difabel (Sigap) Joni Yulianto, Rabu 29 April 2015.
Pada 27 April 2015, Paul Grigson berencana berkunjung ke lembaga yang dia pimpin di Balai Desa Sendangtirto, Berbah, Sleman Senin 27 April 2015. Menurut Joni, kunjungan tersebut merupakan bagian dari dukungan pemerintah Australia atas promosi dan advokasi inklusi difabel di Indonesia
Rencananya, Grigson akan berdiskusi tentang kinerja dan capaian Sigap dalam promosi dan advokasi isu difabel dan akses terhadap keadilan. Selain itu juga soal inisiatif pembentukan desa inklusi, yaitu desa yang memberikan akses yang sama terhadap warganya tanpa diskriminasi yang tengah dirintis.
Tapi kunjungan tersebut dibatalkan oleh Grigson menyusul ketegangan diplomatik Indonesia-Australia mengenai kepastian eksekusi duo Bali Nine tersebut. Meski Grigson batal datang, menurut Joni ada perwakilan Kedutaan Besar Australia di Indonesia yang datang. Mereka meminta maaf karena pembatalan itu. “Mereka memastikan pembatalan itu tak berarti ada pemutusan kerja sama dengan kami,” kata Joni yang enggan menyebutkan nama perwakilan kedutaan besar Australia tersebut.
Menurut anggota tim advokasi Sigap, Ahmad Syafe’i, bentuk kerja sama dua negara berupa dukungan terhadap advokasi masyarakat difabel oleh Kemitraan Australia-Indonesia untuk Keadilan, satu program yang didukung pemerintah Australia dan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas. Realisasinya, ada penandatangan nota kesepahaman antara Sigap dengan Komisi Yudisial untuk mengatasi hambatan sistem peradilan Indonesia bagi kaum difabel di Jakarta pada 13 Maret 2014.
Kedua lembaga itu akan bekerja sama dengan pengadilan Indonesia untuk mempromosikan kesetaraan kesempatan mengakses peradilan bagi kaum difabel. “Saya tidak tahu soal kelanjutan kerja sama itu. Tapi dampak eksekusi mati itu menimbulkan ekskalasi serius,” kata Ahmad yang juga peneliti Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (Pusham UII) Yogyakarta.
PITO AGUSTIN RUDIANA