TEMPO.CO, Jakarta - Manajer Advokasi Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Apung Widadi mencurigai ada politik barter dalam keputusan Presiden Joko Widodo soal penambahan uang muka pembelian mobil dinas pejabat negara. "Anggaran dinaikkan sebagai balas budi setelah pemilu dan pembungkaman menggunakan fasilitas untuk politikus dan pejabat yang berseberangan," kata Apung di kantornya, Ahad, 5 April 2015.
Gejala itu, kata Apung, terlihat dari alasan pemerintah yang menyatakan kenaikan anggaran dilakukan atas permintaan Dewan Perwakilan Rakyat. Apung menilai pemerintah harusnya bisa menolak tegas keinginan Dewan tersebut. Apalagi Jokowi telah menjanjikan efisiensi anggaran dalam visi nawa cita.
Kenaikan anggaran untuk uang muka mobil pejabat negara telah disahkan dalam Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2015 yang diteken pada 20 Maret lalu. Alasan kenaikan disebut akibat naiknya harga bahan bakar minyak dan inflasi.
Sebanyak 753 pejabat Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, Mahkamah Konstitusi, dan Badan Pemeriksa Keuangan akan menikmati anggaran dengan nilai total Rp 158,8 miliar itu.
Menurut Apung, lembaganya telah menginvestigasi beberapa anggota inkumben DPR pada 2010. Hasil penelusuran Fitra saat itu menemukan sebagian besar duit tidak digunakan untuk panjar mobil, tapi hanya dianggap pesangon biasa untuk keperluan pribadi. Saat itu, dana yang dianggarkan sebesar Rp 116 juta per orang. Kali ini, nilai tersebut dinaikkan menjadi Rp 210,8 juta untuk tiap pejabat.
MOYANG KASIH DEWIMERDEKA