TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah Kabupaten Garut meminta Pemerintah Provinsi Jawa Barat bertindak tegas terhadap pelaku perusakan lingkungan di wilayah tersebut. "Garut memberitahukan bahwa persoalannya sangat sulit ditangani. Kami ada Satgas Penegakan Hukum Lingkungan Terpadu," kata Wakil Gubernur Jawa Barat Deddy Mizwar selepas memimpin rapat membahas permintaan itu di Bandung, Selasa, 31 Maret 2015.
Deddy mengatakan pemerintah Garut mengadukan kerusakan lingkungan di sepuluh lokasi seluas lebih dari 600 hektare yang disebabkan oleh pembalakan dan penambangan liar. "Itu di sepuluh lokasi baru perkiraan kasar. Kalau dibiarkan, akan berkembang ke mana-mana," katanya.
Salah satu kasus yang dilaporkan adalah pembuatan jalan bagi pembalak dan penambang liar sepanjang 6 kilometer menembus hutan lindung yang dikelola Perhutani di kawasan Cikelet, Garut. "Sampai buat jalan sendiri di lahan hutan Perhutani. Ini seperti negara tidak hadir di sana," kata Deddy.
Deddy menolak merinci tindakan yang akan diambil Pemerintah Provinsi atas pengaduan itu. "Ada sepuluh lokasi terjadi kerusakan, itu jelas. Tapi bagaimana penanganannya, teknisnya, saya tidak akan bicara. Akan segera kami tangani secepatnya dalam hitungan hari," katanya.
Menurut Deddy, masalah kerusakan lingkungan di Garut sengaja dibahas khusus. Dia beralasan, imbas kerusakan itu sudah terasa. Salah satunya debit Sungai Cimanuk anjlok sampai 60 persen saat kemarau. Pada musim hujan, debit air justru amat besar, sehingga luapan sungai menyebabkan banjir besar di Indramayu. Adapun sungai itu diproyeksikan menjadi sumber air untuk Waduk Jatigede.
Koordinator Satuan Tugas Penegakan Hukum Lingkungan Terpadu Kepala Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Jawa Barat Anang Sudarna mengatakan lokasi yang dilaporkan mengalami kerusakan berada di sejumlah wilayah hutan. "Di antaranya Cagar Alam Leuweung Sancang, hutan lindung di Suaka Margasatwa Gunung Masigit-Kareumbi, Hutan Lindung Cikuray, Kamojang," katanya.
Anang mengatakan mayoritas kerusakan lingkungan di hutan terjadi akibat perambahan. Khusus di wilayah yang berada di dalam pengelolaan Perum Perhutani dan Badan Konservasi Sumber Daya Alam, timnya meminta agar penyelesaian masalah tersebut dilakukan kedua lembaga itu. "Kalau butuh bantuan Satgas, yang ada komponen kepolisian dan kejaksaan di dalamnya, kita welcome saja," katanya.
Menurut Anang, dari sepuluh kasus perusakan lingkungan itu, baru satu yang sudah ditangani kepolisian. "Kasus pembuatan jalan di kawasan hutan lindung di Cikelet, Pakenjeng, sepanjang 6 kilometer, lebar 3-4 meter, sudah diselidiki. Satu saksi sudah dipanggil dua kali dan belum memenuhi panggilan, dan akan dipanggil paksa."
Dia menjelaskan, pembuatan jalan yang membelah hutan lindung itu diduga menyasar kayu di hutan primer, yang kekayaan kayunya ditaksir menembus angka Rp 100 miliar. "Katanya satu batang pohonnya ada yang bisa menghasilkan 20 meter kubik karena usianya mungkin sudah ratusan tahun, tapi jalannya belum sampai ke sana," kata Anang.
Menurut Anang, Wakil Bupati Garut Helmi Budiman melaporkan jalan itu menuju kawasan hutan yang berstatus enclave, dan bukan hutan negara. Tapi Perum Perhutani memastikan hutan itu termasuk kawasan hutan negara. Pembuatan jalan yang berlangsung sejak Juni 2014 itu akhirnya disetop pada Oktober 2014, sementara pelakunya dilaporkan ke polisi. "Kalau dilihat dari biaya pembuatan jalannya, tidak mungin kalau tidak ada suntikan modal dari luar," katanya.
Khusus ihwal penambangan ilegal, Wakil Bupati Helmi mengadukan tiga perusahaan yang beroperasi di Gunung Guntur. "Secara resmi Bupati Garut dalam suratnya menyebutkan tiga perusahaan. Itu data awal untuk menggali informasi, meminta keterangan," kata Anang.
AHMAD FIKRI