TEMPO.CO, Surabaya- Waktu menunjukkan pukul 10.00 saat di ujung barak khusus psikotik lingkungan Pondok Sosial Surabaya, Mufidah terduduk. Daster yang dikenakan terlihat longgar membalut tubuhnya yang kurus kering. Rambutnya cepak, semakin menunjukkan keadaan Mufidah yang sedang sakit. Sebuah rantai membelenggu kakinya. "Mau pulang, aku mau pulang," kata Mufidah berulang kali kepada petugas, Selasa, 31 Maret 2015.
Suaranya lirih dan kurang jelas. Matanya nanar menatap Tempo yang mengajaknya berbincang. Ekspresinya datar. Setiap kali ditanya, Mufidah tidak langsung menjawab. Seakan dia harus lebih dulu mencerna satu per satu kata yang didengarnya. "Mau pulang, ke Sumberrejo," katanya dengan bahasa Jawa.
Tidak jauh dari Mufidah duduk, Sumiarsih terbaring lemas di lantai barak. Nyaris tidak ada gerakan yang berarti. Tempo berusaha bertanya kepada Sumiarsih. Tatapannya kosong, tapi masih bisa berkomunikasi. "Rumah di Malang," ujarnya singkat.
Dengan perlahan dan terbata-bata, Sumiarsih sempat mengatakan punya adik dan orang tua. Tapi suatu hari, dia digaruk polisi di Surabaya. Ia mengaku tidak ingat kapan dan kenapa itu terjadi. "Ditangkap polisi terus dirantai di sini," katanya.
Sama seperti Mufidah, Sumiarsih juga dirantai. Kakinya tidak bisa bergerak bebas. Tubuh Sumiarsih masih lebih berisi dibandingkan Mufidah. Bicaranya juga cukup jelas, meski pelan. Usia kedua perempuan itu mungkin tidak terpaut jauh, sekitar 25 tahun.
Menurut salah seorang pendamping, Mila, Mufidah, dan Sumiarsih divonis terjangkit HIV. Keduanya sudah sangat kurus dan tidak jauh berubah ketika pertama kali tiba di lingkungan Pondok Sosial Keputih, Surabaya. Mufidah masuk lebih dulu, sekitar dua tahun lalu. Sedangkan Sumiarsih baru datang akhir 2014.
Awalnya, para pendamping memperlakukan Mufidah dan Sumiarsih seperti penderita gangguan jiwa lainnya. Mereka pun berinteraksi dengan jarak dekat. Tapi setelah diketahui mengidap HIV, para pendamping pun menghindari untuk bersentuhan langsung. "Kalau mandi, ya, kami cuma siram air, mereka sendiri yang pakai sabun," kata Mila.
Menurut Mila, setelah divonis HIV, perlakuan yang diberikan kepada Mufidah dan Sumiarsih otomatis berubah. Mereka dirantai karena khawatir akan menulari penghuni lainnya. Sekadar diketahui, di barak psikotik perempuan yang luasnya 25 x 30 meter terdapat 450 penghuni. Karena mengalami gangguan jiwa, para penghuni itu pun berperilaku lain. Sebagian besar di antaranya bahkan tidak suka mengenakan pakaian dan buang air sembarangan.
Petugas perawat, Ulum Topan, mengaku terpaksa merantai Mufidah dan Sumiarsih lantaran kelainan tingkah laku mereka. Menurut Topan, kedua perempuan itu pernah dibiarkan berkeliaran. Tapi tiba-tiba mereka bersikap aneh. "Dia langsung ngajak penghuni lain untuk berhubungan badan. Ini kan bahaya," kata Topan.
Pernah pula Sumiarsih dirawat di Rumah Sakit Umum Dr Soetomo. Saat diambil darah, Sumiarsih langsung mencabut jarum. Akibatnya, darahnya muncrat hingga mengenai pasien lain yang berada di satu ruangan.
Pihak rumah sakit akhirnya tidak bersedia merawat Mufidah dan Sumiarsih. Kalaupun perlu perawatan, harus ada yang mendampingi. Itu pun dalam hitungan hari. Biasanya Topan yang bertugas untuk itu. Berkaca dari kondisi tadi, Topan akhirnya terpaksa membawa Mufidah dan Sumiarsih. Kendati divonis positif, dokter menyatakan virus HIV di dalam diri Mufidah dan Sumiarsih belum sampai stadium lanjut.
Hingga kini, pengobatan jalan masih tetap diberikan. Sebagai antisipasi penularan, Sumiarsih dan Mufidah dirantai agar tidak berkeliaran dan mengganggu penghuni lain. Tidak adanya kamar khusus juga menjadi alasan keduanya harus dirantai.
AGITA SUKMA LISTYANTI