TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Saud Usman Nasution mendesak agar aturan tentang kebebasan berpendapat dan keormasan segera direvisi. Dua beleid tersebut, menurut Saud, memberi peluang berkembangnya paham kelompok militan ISIS di Indonesia.
"Kedua aturan tersebut perlu dievaluasi karena tak ada sanksi jelas," kata Saud dalam diskusi tentang radikalisme di Jakarta Pusat, Ahad, 22 Maret 2015.
Saud mencontohkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kebebasan Berpendapat yang membebaskan semua orang bicara apa saja tanpa batasan. Bila ada yang menghambat aspirasi tersebut, justru diberi sanksi. "Misalnya ada orang yang ngomong dia ISIS, kita tak bisa beri sanksi karena ada undang-undang yang menjamin," ujar Saud.
Begitu pula dengan aturan keormasan. Menurut Saud, pemerintah hanya mengatur ormas yang terdaftar. Bila di antara ormas yang terdaftar itu ada yang melanggar aturan, sanksinya hanya pencabutan izin. "Bagaimana dengan ormas yang tak terdaftar?" tanya Saud. "Bahkan tak ada sanksi untuk mereka."
Revisi beleid tersebut, menurut Saud, harus segera dilakukan agar aparat punya pegangan hukum yang kuat untuk menjerat warga Indonesia yang terindikasi menjadi pendukung ISIS. Saud mendesak anggota Dewan Perwakilan Daerah yang turut hadir dalam diskusi untuk segera mewujudkan aspirasi tersebut.
Anggota Komite I DPD RI asal Sulawesi Selatan, Iqbal Parewangi, mengatakan reaksi terhadap ancaman radikalisme ISIS berlebihan. Menurut dia, respons terhadap ISIS menggambarkan sikap paranoid. "Kita bangsa besar, jangan mau diposisikan begitu lemah oleh ISIS," kata Iqbal.
Iqbal bahkan menyebut isu ISIS kemungkinan hanya diembuskan untuk mengalihkan perhatian masyarakat.
Teror ISIS makin meluas setelah terungkap banyak WNI yang bergabung dengan kelompok tersebut. Modusnya bermacam-macam, mulai dari menumpang paket tur wisata, sekolah, hingga umrah.
MOYANG KASIH DEWIMERDEKA