TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly mengatakan pihaknya tengah mengkaji kebijakan mencabut kewarganegaraan masyarakat yang bergabung dengan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Namun, dalam Undang-Undang Kewarganegaraan, Indosia tak mengenal istilah stateless atau orang yang tidak punya kewarganegaraan.
"Karena itu, tak mungkin pemerintah mencabut paspor. Mungkin kita membuat kebijakan cegah tangkal dulu," kata Yasonna di Kantor Kepresidenan, Rabu 18 Maret 2015.
Yasonna mengatakan beberapa negara menerapkan pencabutan status kewarganegaan saat warga mereka bergabung dengan kelompok teroris.
Sedangkan pemerintah Indonesia bisa mencabut kewarganegaraan warganya yang ikut berperang membela negara lain. Musababnya, itu artinya mereka membela tanah air negara lain.
"Tapi mereka kan bukan dalam keadaan perang. Hanya akan masuk ke Suriah," katanya.
Kepala Badan Intelijen Negara Marciano Norman mengaku pemerintah masih berharap akan adanya beleid yang tegas untuk menghadapi pelaku dan tindakan teror serta radikal. Marciano berharap pemerintah dan DPR segera membuat beleid tersebut.
"Kalau seperti sekarang, pemerintah tidak mudah menindaknya," kata Marciano di Kantor Kepresidenan, Rabu, 18 Maret 2015.
Menurut Marciano, beberapa negara lain sudah tegas mengatur masalah itu dalam sebuah undang-undang. Isinya, kata dia, warga negara yang jelas-jelas keluar dari negara lalu bergabung dengan kelompok terlarang di negara lain, negara itu berhak mencabut kewarganegaraannya.
"Maka, terhadap mereka yang telah kembali setelah bergabung dengan kelompok radikal, negara bisa menindaklanjuti," katanya.
MUHAMMAD MUHYIDDIN