TEMPO.CO, Makasar - Anggota Yayasan Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB), Mohammad Anis Kaba, mengatakan ahli waris dari keluarga korban kekejaman Westerling di Sulawesi Selatan sampai saat ini masih menanti pembayaran ganti rugi. Mereka khawatir pemerintah Belanda tidak melaksanakan keputusan pengadilan terkait dengan tuntutan ahli waris.
"Bisa saja pemerintah Belanda mengajukan banding atas keputusan pengadilan," kata Anis kepada Tempo, Jumat, 13 Maret 2015.
Ahli waris korban Westerling, tutur Anis, tidak setuju jika hanya 23 ahli waris yang boleh mendapatkan pembayaran ganti rugi. Sebab, korbannya di Sulawesi Selatan tercatat 1.429 orang. Mereka terdiri atas veteran dan warga sipil. "Kalau korban sipil sekitar 600 orang. Ini baru di Sulawesi Selatan, belum di daerah Jawa dan Sumatera," ujarnya.
Walaupun sebagian besar masih menuntut pembayaran ganti rugi, Anis menambahkan, ada juga ahli waris yang menolak ganti rugi itu. Bagi mereka, pemberian ganti rugi dianggap sebagai penghinaan terhadap bangsa Indonesia. "KUKB hanya memfasilitasi ahli waris yang mau menuntut ganti rugi," ucapnya.
Berita putusan pengadilan Belanda yang memenangkan tuntutan KUKB sudah diterima, tetapi ahli waris di Sulawesi Selatan belum mengambil sikap apa pun. "Para ahli waris hanya menunggu," kata Anis.
Mekanisme pemberian ganti rugi itu juga tidaklah sederhana. Anis menuturkan, untuk mendapatkan ganti rugi, pemerintah Belanda akan memeriksa sendiri kebenaran informasi yang diberikan KUKB. Sebab, setelah putusan pengadilan Belanda yang memenangkan KUKB tersebar, banyak oknum tidak bertanggung jawab ingin mengambil untung dengan memberikan data palsu. "Jika data dan informasi ahli waris benar, ganti rugi akan dikirim langsung ke rekening ahli waris," dia menjelaskan.
Tokoh dari Sulawesi Selatan, budayawan Anhar Gonggong dan almarhum Gubernur Sulawesi Selatan Andi Oddang Makka, termasuk orang yang menentang pemberian ganti rugi itu. Anhar, yang merupakan anak dari korban kekejaman Westerling, menilai pemberian itu adalah bentuk penghinaan. "Kami bukan bangsa pengemis," ujar Anhar kepada Tempo.
Menurut Anhar, pemberian ganti rugi tersebut tidak akan mengembalikan kehormatan bangsa Indonesia dan juga keluargannya yang telah meninggal. Ganti rugi itu hanya untuk memulihkan kehormatan pemerintah Belanda, bukan pemerintah Indonesia. "Makanya saya tidak akan pernah memaafkan," ucapnya.
Anhar melihat pemerintah Belanda sampai sekarang tidak mengakui kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945. Bagi mereka, hari kemerdekaan Indonesia adalah 27 Desember 1949 (berdasarkan keputusan Konferensi Meja Bundar, pemerintah Belanda menyerahkan kedaulatan kepada Republik Indonesia). Dengan demikian, perbuatan melanggar hak asasi manusia dalam kurun waktu 1945-1949 dianggap tindakan Belanda di wilayah penjajahannya, bukan di Indonesia. "Makanya kami juga minta Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia," ia menjelaskan.
"Bahkan saya sangat marah ketika mendengar sudah ada ahli waris yang mendapat ganti rugi, karena jelas ini penghinaan. Kita ini negara yang kaya, Belanda yang datang mengeruk kekayaan Indonesia," ujar Anhar. Walapun begitu, Anhar tidak melarang ahli waris yang ingin menerima ganti rugi.
MUHAMMAD YUNUS