TEMPO.CO, Batu - Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Timur mengkhawatirkan pembangunan Jalan Lintas Selatan (JLS) akan memicu bencana ekologi. Mereka menunjuk sepanjang pesisir selatan Jawa yang meliputi hutan lindung dan telah berperan sebagai kawasan penyangga.
"Ancaman deforestasi dan bencana ekologi di depan mata," kata Direktur Eksekutif Walhi Jawa Timur Ony Mahardika dalam Konferensi Masyarakat Sipil di Batu, Jawa Timur, Kamis, 12 Maret 2015.
Dampak bencana yang nyata, menurut Ony, adalah JLS membelah kawasan hutan lindung yang dikelola Perum Perhutani. Hutan lindung menjadi rusak sehingga menyebabkan ancaman terhadap keseimbangan ekosistem. "Jika JLS terhubung mulai Banyuwangi hingga Pacitan maka akan mempercepat alih fungsi hutan menjadi industri, tambang, dan permukiman," kata dia.
Alih fungsi hutan berarti ancaman terhadap fungsi cadangan air dalam tanah pula. Sementara saat ini, Ony menambahkan, sepanjang pesisir selatan Jawa telah mengalami eksploitasi dari sejumlah perusahaan tambang pasir besi yang diduganya tak berizin pula.
"Penambangam pasir besi telah merusak lingkungan dengan limbah debu dan limbah lain hasil produksi tambang," katanya menambahkan, "Selain itu akan menimbulkan dampak sosial seperti konflik tanah, yang berujung pelanggaran hak asasi manusia."
Baca Juga:
Sebelumnya, Wakil Gubernur Jawa Timur Saifullah Yusuf menjelaskan jika pembangunan JLS untuk menekan kesenjangan pembangunan di wilayah selatan dan utara Jawa Timur. Kawasan selatan dinilainya masih minim infrastruktur dan tergolong kawasan dengan tingkat perekonomi rendah.
Gus Ipul--sapaan Saifullah--menjelaskan, tahun ini dianggarkan dana sebesar Rp 500 miliar untuk percepatan proyek pembangunan JLS. Total JLS sepanjang 6.800 kilometer dengan lebar 40 meter.
Namun, sejak sepuluh tahun lebih pembangunan JLS terkendala pembebasan lahan. Sekitar 80 persen jalur telah terbangun. Sedangkan pembebasan lahan hutan Perum Perhutani terhambat lantaran harus mendapat izin dari direksi Perum Perhutani.
EKO WIDIANTO