TEMPO.CO, Jakarta - Mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Denny Indrayana, tak memenuhi panggilan pemeriksaan Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian. Pengacara Denny, Heru Widodo, mengatakan kliennya tak datang karena memiliki agenda lain.
"Dia ada agenda lain yang sudah terjadwal. Jadi kami menghadap penyidik untuk mengajukan permohonan pemanggilan ulang," kata Heru setelah menyerahkan surat izin ketidakhadiran Denny ke Bareskrim di Mabes Polri, Jakarta, Jumat, 6 Maret 2015. Denny justru bertandang ke Kementerian Sekretariat Negara bersama aktivis antikorupsi lain, termasuk Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi nonaktif Bambang Widjojanto.
Seharusnya Bareskrim memeriksa Denny hari ini pukul 09.00 WIB sebagai saksi sekaligus terlapor dalam kasus payment gateway. Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Polri Komisaris Besar Rikwanto mengatakan Denny dilaporkan dua kali ke Mabes Polri. Laporan pertama dilayangkan Andi Syamsul Bahri, dari lembaga swadaya masyarakat Pijar, pada 10 Februari 2015. Denny kembali dilaporkan atas kasus dugaan tindak pidana korupsi yang sama pada 24 Februari 2015.
Menurut Heru, kliennya menganggap pelaporan kasus ini sebagai upaya kriminalisasi. Denny, kata Heru, heran dengan proses penyelidikan dan penyidikan yang begitu cepat. "Prosesnya begitu cepat. Silakan nilai sendiri apakah ini proses hukum yang wajar atau kriminalisasi."
Begitu laporan pertama masuk, penyidik segera menyelidiki kasus tersebut. Sebanyak 12 saksi telah diperiksa dalam kurun kurang dari sebulan. Mereka semua merupakan pegawai Kementerian Hukum dan HAM. Di antaranya Direktur Sistem dan Teknologi Keimigrasian Kementerian Hukum dan HAM Rochadi Iman Santoso dan mantan Menteri Hukum dan HAM, Amir Syamsuddin. Bareskrim memeriksa Amir pada Selasa, 3 Maret 2015.
Denny dilaporkan karena diduga menyelewengkan implementasi payment gateway dalam program sistem pelayanan paspor terpadu online yang dibuatnya saat masih menjabat di Kementerian Hukum. Denny memelopori program ini untuk menghapus pungutan liar dalam pengurusan paspor.
Dalam implementasi payment gateway Juli-Oktober 2014, kata Rikwanto, terdapat nilai selisih dari pengurusan paspor yang tak disetorkan ke negara. "Ada selisih akumulasi nilai pembuatan paspor yang merupakan penerimaan negara bukan pajak Rp 32 miliar," kata Rikwanto. "Jumlah kerugian negara masih kami usut."
Menurut dia, kelebihan pungutan tersebut justru masuk ke dua vendor dan tak langsung disetorkan ke bank penampung. "Uang itu mampir dulu ke dua vendor. Secara ketentuan, tak boleh," katanya.
Heru berjanji kliennya akan hadir dalam pemeriksaan selanjutnya untuk memberikan keterangan lengkap atas kasus ini. "Dia pasti datang untuk memberi penjelasan supaya penyidik mendapat informasi berimbang," katanya.
PUTRI ADITYOWATI