TEMPO.CO, Jakarta - Keputusan praperadilan terhadap Budi Gunawan menginspirasi banyak orang. Salah satunya adalah terdakwa kasus suap mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar, Muhtar Ependy.
Pada Kamis, 5 Maret 2015, majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menjatuhkan vonis 5 tahun penjara kepada Muhtar. Vonis itu lebih rendah dari tuntutan jaksa yang meminta Muhtar dibui 7 tahun.
Menanggapi putusan itu, Muhtar ingin mengajukan banding. "Yang pasti, saya bukan pejabat negara," kata Muhtar yang ditemui seusai persidangan.
Dalih ini juga yang digunakan Komisaris Jenderal Budi Gunawan untuk membatalkan status tersangkanya melalui pengadilan. KPK menetapkan Budi sebagai tersangka rekening mencurigakan.
Dalam pertimbangan pada sidang praperadilan Budi Gunawan, hakim memutuskan Budi bukan pejabat atau penyelenggara negara sehingga kasusnya tak layak ditangani KPK. Muhtar akan menggunakan pertimbangan ini untuk melepaskan diri dari jerat hukum. Muhtar mengatakan dia bukan pejabat eselon satu yang dapat dijerat KPK.
Muhtar adalah Direktur PT Promix yang menawarkan alat peraga kampanye, seperti kaus sablon dan bendera, kepada calon kepala daerah yang bertarung di pilkada. "Mungkin mereka (hakim) salah baca sablon jadi eselon," ucap Muhtar berkelakar.
Muhtar berujar, dia juga tidak merugikan keuangan negara. Selama persidangan terungkap bahwa Muhtar bertindak sebagai perantara antara calon kepala daerah yang beperkara di MK dan Akil. Duit suap dari calon kepala daerah itu ditransfer kepada Muhtar dulu sebelum diteruskan kepada Akil.
Berkaca pada kesuksesan Budi Gunawan, Muhtar berniat melanjutkan kasusnya ke tingkat lebih tinggi. "Budi Gunawan saja bisa bebas, masak saya pengusaha tidak?" kata Muhtar.
MOYANG KASIH DEWIMERDEKA