TEMPO.CO, Malang--Guru besar Fakultas Ekonomi Pertanian Universitas Brawijaya Malang Nuhfil Hanani berpendapat, melambungnya harga beras bisa menjadi momentum untuk mulai diversifikasi bahan pangan. Ketersediaan bahan pangan cukup beragam untuk menggantikan beras sebagai makanan pokok, antara lain ubi, jagung, padi, kedelai, sagu, dan ketela. "Indonesia memiliki 77 jenis sumber karbohidrat," kata Nuhfil, Selasa 24 Februari 2015.
Ragam bahan pangan di Indonesia menempati urutan kedua di dunia setelah Brasil. Berdasar penelitiannya, persediaan bahan pangan non-beras sebanyak dua kali lipat dibandingkan kebutuhan. Sedangkan untuk menggenjot produktivitas pertanian, dibutuhkan komitmen pemerintah.
Di antara komitmen itu ialah pemerintah harus meningkatkan anggaran produksi pangan, membuka akses daerah yang terisolir dan meningkatkan pendapatan petani. Jika tak dilakukan, Indonesia terancam rawan kekurangan pangan. "Krisis pangan dunia terjadi sejak 2008, di Indonesia belum merasakan," katanya.
Dalam penelitian program pangan dunia, penduduk rawan pangan sekitar 14,4 persen. Jumlah tersebut meleset dari perkiraan organisasi pangan dunia (FAO) yaitu maksimal 5 persen. Kondisi ini, katanya, mengindikasikan bahwa Indonesia tidak berhasil membangun ketahanan pangan. Indonesia dianggap gagal menyiapkan cadangan pangan dalam kondisi darurat.
Di lapangan, persediaan beras yang dimiliki sejumlah pedagang beras Malang merosot drastis sejak dua pekan terakhir. Pasokan beras menipis lantaran tersendat dari distribusinya. Dampaknya, harga beras terus merangkak naik tak terkendali, baik yang kualitas rendah, medium sampai premium.
Beras kualitas premium semula Rp 9.500 per kilogram naik menjadi Rp 10.500. Sedangkan harga beras kualitas medium awalnya Rp 8 ribu naik menjadi Rp 9.500 per kilogram. "Namun pasokan beras ke kami turun," kata salah seorang pedagang beras, Abdul Ghani.
EKO WIDIANTO