TEMPO.CO, Jakarta - Setelah Mahkamah Konstitusi membatalkan semua pasal Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDA), Muhammadiyah mendesak Dewan Perwakilan Rakyat segera membahas undang-undang baru sebagai penggantinya. Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin berharap UU baru ini nantinya bebas dari multitafsir.
"Jangan sampai UU baru ini memberi kode kepada swasta bahwa mengelola air sama dengan menguasai sumber air," kata Din di kantornya, Senin, 23 Februari 2015.
Muhammadiyah merupakan salah satu pemohon dalam judicial review UU Sumber Daya Air. Setelah sidang dan pembahasan selama setahun, MK mengabulkan permohonan itu pekan lalu. Selain membatalkan UU SDA, MK juga memberlakukan kembali UU Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan hingga ada UU baru.
UU 7 Tahun 2004 menjadi rujukan privatisasi dan komersialisasi air. Pemohon, kata Din, berhasil membuktikan kerugian konstitusional akibat hal tersebut. "Terutama bagi petani di sekitar industri besar air mineral kemasan. Irigasi mereka kering," kata Din. "Ironisnya, air mineral kemasan yang diambil dari belakang rumah mereka dijual mahal di depan mata mereka sendiri."
Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies Marwan Batubara mengatakan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional harusnya mulai mengerjakan purwarupa pengelolaan air dalam negeri. "Baik membentuk dengan badan usaha milik negara, daerah, atau koperasi," ujarnya.
Marwan—yang juga pemohon dalam judicial review itu—berharap pengelolaan air diurus secara profesional layaknya mengelola minyak bumi dan gas. "Pemerintah bisa membentuk badan pengawas hilir dan hulu," katanya. "Mengurus air, kan, tidak perlu teknologi tinggi. Masak, itu saja harus bermitra dengan perusahaan asing."
Ia mendesak pemerintah segera membatalkan kerja sama dengan perusahaan asing dalam pengelolaan air. "Bisa secara perlahan transfer saham ke pemerintah pusat atau daerah dengan harga wajar secara bertahap," ucapnya. "Yang jelas, semua yang punya wewenang harus bergerak cepat menaati putusan MK."
Poin penting dari putusan MK adalah hak penguasaan air dimiliki negara. Hak penguasaan negara atas air diwujudkan dengan membuat kebijakan, mengendalikan, mengatur, mengelola, dan mengawasi. "UU baru harus mencakup semua aspek ini," kata Marwan.
Sejak diberlakukan sepuluh tahun lalu, Undang-Undang 7 Tahun 2004 dinilai sebagai payung hukum yang melegalkan keterlibatan perusahaan swasta dan asing dalam menyediakan air bersih bagi warga Indonesia. Status air sejak itu dianggap sebagai barang ekonomi yang untuk mendapatkannya mengikuti hukum ekonomi.
Salah satu contoh privatisasi air adalah pengelolaan air bersih oleh perusahaan PT Palyja yang sebagian sahamnya dimiliki perusahaan Prancis, dan PT Aetra yang sebagian sahamnya dimiliki perusahaan Inggris. Kedua perusahaan swasta itu bekerja sama dengan PAM Jaya selama 25 tahun sejak 1998.
Wakil Ketua Komisi Pertanian Dewan Perwakilan Rakyat Viva Yoga Mauladi mengatakan pembahasan UU Sumber Daya Air baru bisa masuk dalam revisi Prolegnas 2015. "Melihat kebutuhannya, kami bisa mengajukan revisi ke Badan Legislasi," katanya.
Komisi Pertanian, kata Viva, bakal segera merancang cetak biru pengelolaan air dengan pemerintah. "Memang harus ada badan usaha milik negara atau pemerintah yang khusus menangani air," ujarnya. "Selama ini memang sudah ada, seperti PDAM di daerah-daerah, tapi tidak maksimal menjalankan lima fungsi yang disebutkan dalam putusan MK itu."
Politikus Partai Amanat Nasional itu mengatakan pengelolaan air memang harus diserahkan sepenuhnya kepada negara. "Kami menerima masukan segala pihak untuk pembahasan UU SDA yang baru," kata Viva.
INDRI MAULIDAR