TEMPO.CO, Jakarta - Alissa Wahid, putri Presiden keempat Indonesia Abdurrahman Wahid, mengharap perayaan tahun baru Tionghoa Imlek membawa perdamaian bagi bangsa. Abdurrahman--kerap disapa Gus Dur--adalah tokoh yang mencabut Inpres nomor 14 tahun 1967 yang melarang berbagai bentuk ekspresi perayaan adat tionghoa di muka umum.
Beberapa klenteng pun memasang foto Gus Dur di area peribadatan mereka. Misalnya di Kelenteng Boen Bio di Surabaya, Jawa Timur.
Gus Dur, kata Alissa, mencabut beleid itu untuk memberikan penghargaan sama atas budaya bangsa. Pencabutan inpres ini, kata Alissa, memerdekakan belenggu dan mendobrak sekat 'liyan' bagi etnis Tionghoa.
"Karena Indonesia ini dibangun atas berbagai khasanah jati diri bangsa," kata Alissa saat dihubungi, Kamis, 19 Februari 2015. Persatuan, kata dia, dibangun melalui prinsip keadilan. "Dan keadilan itu pondasinya adalah kesetaraan, termasuk dalam hal berekspresi."
Menurut Alissa, Indonesia pun mendapatkan manfaat dari budaya Tionghoa. Kultur tersebut, kata dia, dapat dirasakan dalam segala bentuk, seperti kesenian, etos, arsitek, dan lain-lain. "Selain itu, juga tak ada persoalan integrasi," kata dia.
Akun twitter yang dikelola Alissa, @GUSDURians, menyebut alasan mantan Ketua Umum Tanfidziyah PBNU itu membela kaum Tionghoa--juga kelompok minoritas lain. Gus Dur menukil Qur'an Al-Baqoroh berbunyi Udkhuluu fi as-Silmi Kaff h. Artinya, Masuklah kalian ke dalam Islam secara Penuh.
Gus Dur, ujar Alissa, menafsirkan kata "As-Silmi Kaffah" sebagai Kedamaian secara penuh. Sehingga membawa nilai2 universal. "Sikap ini membawa Gus Dur pada sikap totalitas dalam memperjuangkan perdamian," kata Alissa.
MUHAMMAD MUHYIDDIN