TEMPO.CO , Malang -- Penjualan apel asli Kota Batu meningkat drastis sejak Kementerian Perdagangan melarang masuk apel jenis Gala dan Granny Smith dari Amerika Serikat (AS) yang terserang bakteri Listeria Monocytogenes.
Angka penjualan apel lokal naik 30 persen. Tapi harga apel di tingkat petani masih normal antara Rp 7 ribu sampai Rp 12 ribu per kilogram. Saking larisnya, pedagang di Kota Malang kesulitan mendapatkan apel. Selain Kota Malang, apel Batu dikirim ke kota-kota lain di Jawa Timur, terutama Surabaya, serta dikirim ke kota lain di Indonesia, Jakarta, Semarang, Yogyakarta, Denpasar, Medan, Pontianak, dan Lombok. Mayoritas apel diborong pusat perbelanjaan besar.
"Permintaannya memang sedang naik-naiknya. Berapa pun stok yang kami punya, pasti habis terjual. Saya kirim 5,5 ton apel segar setiap hari," kata Maria, pedagang apel di Pasar Besar Kota Batu, Kamis 5 Februari 2015.
Maria rutin mengirim apel ke Bali, Lombok, Pontianak, Solo, Yogyakarta, dan juga Kota Malang. Untungnya Maria punya kebun apel seluas 3 hektare sehingga masih bisa mandiri memenuhi permintaan. Tiap enam bulan sekali dia memanen 35 ton apel. Dia membeli apel dari petani lain di Kota Batu bila stok apel miliknya habis dan dia tetap saja kewalahan memenuhi tingginya permintaan.
"Kalau sudah begitu, saya terpaksa mencari ke daerah penghasil apel di Kabupaten Malang dan Kabupaten Pasuruan," ujar Maria.
Lantaran pasokan mulai berkurang drastis, para petani dan pedagang berburu apel ke tiga daerah penghasil apel di wilayah Kabupaten Malang, yakni Poncokusumo, Tumpang, dan Pujon. Bahkan, sebagian petani sekaligus pedagang mencari apel hingga ke desa-desa penghasil apel di wilayah Kecamatan Tutur, Kabupaten Pasuruan. Produksi apel Pasuruan identik dengan label Nongkojajar, nama dusun di Desa Wonosari. Selain Wonosari, apel Pasuruan ditanam di Andonosari, Kayubebek, Blarang, dan Gendro.
ABDI PURMONO