TEMPO.CO, Jakarta - Mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Denny Indrayana, mengatakan Presiden Joko Widodo melakukan kesalahan lantaran menunggu putusan praperadilan untuk menyikapi polemik pemilihan Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai calon Kepala Kepolisian RI.
"Sangat keliru jika Presiden menunggu praperadilan," kata Denny, di kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Jakarta, Ahad, 1 Februari 2015. (Baca:MA Pernah Tolak Kasus Mirip Budi Gunawan)
Ia mengatakan Jokowi seharusnya bisa mengambil keputusan dengan membatalkan pencalonan Budi Gunawan dan mengusulkan calon Kepala Polri yang baru tanpa perlu menunggu putusan praperadilan. "Jangan gantungkan ke praperadilan," ujar Denny. "Pembatalan pencalonan tak terkait dengan praperadilan."
Menurut Denny, penarikan pencalonan Budi Gunawan dan pengusulan calon yang baru merupakan kewenangan Jokowi sesuai Undang-Undang 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI. "Masak yang mengusulkan tidak bisa membatalkan?" ucapnya. (Baca:Sidang Gugatan Budi Besok, Lonceng Kematian KPK?)
Budi Gunawan menggugat penetapan dirinya sebagai tersangka kasus suap dan gratifikasi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Sidang perdana praperadilan digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin, 2 Februari 2015. Putusan akan disampaikan tujuh hari setelah sidang perdana.
Adapun Jokowi akan memutuskan untuk melantik Budi Gunawan jika pengadilan menerima gugatan praperadilan dan membatalkan status tersangka terhadap Budi Gunawan. Jika pengadilan menolak gugatan, Jokowi akan membatalkan pencalonan Budi Gunawan dan mengusulkan calon Kepala Polri yang baru.
Menurut Denny, gugatan praperadilan yang diajukan Budi Gunawan menyalahi logika hukum. Ia mengatakan gugatan praperadilan tak sesuai Pasal 77 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Pasal itu menyebutkan praperadilan diajukan atas sah-tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, atau penghentian penuntutan. (Baca:Ikut Hasto, Pengurus PDIP Ini Serang Abraham Samad)
Selain itu, praperadilan diajukan atas ganti rugi atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan. Adapun Budi mengajukan gugatan dalam konteks penetapan tersangka. "Ini adalah upaya 'jurus mabuk' dari calon Kepala Polri untuk membela diri," ujar Denny.
Mantan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, Ramelan, mengatakan pengadilan semestinya tak menerima gugatan Budi Gunawan lantaran cacat hukum. Menurut dia, Pasal 77 Kitab Undang-Undang tak mengatur penetapan tersangka sebagai dasar gugatan praperadilan. "Aturannya sudah jelas. Tak boleh ditafsirkan lain," katanya.
Adapun Koordinator Politik dan Sipil Yayasan Lembaga Bantuan Hukum, Mochammad Ainul Yaqin, menganggap keliru landasan hukum yang dipakai Budi Gunawan dalam mengajukan gugatan praperadilan, yakni Pasal 95 Kitab Undang-Undang. Ayat dua pasal itu menyebutkan tuntutan ganti rugi oleh tersangka atas penangkapan atau penahanan tanpa alasan diputus dalam sidang praperadilan.
"Proses penyidikan KPK belum sampai sejauh itu. Baru pada penetapan tersangka," ucap Ainul. "Gugatan praperadilan ini sama sekali tak sesuai dengan yang diatur dalam KUHAP." (Baca:Awas, Jejak Hakim Kasus Budi Gunawan Mencurigakan)
Selain mempersoalkan dasar hukum gugatan, pemilihan Syafrin Rizaldi, sebagai hakim yang memimpin sidang praperadilan juga dipersoalkan. Menurut Denny, Syafrin memiliki rekam jejak buruk, yakni delapan kali diadukan ke Komisi Yudisial dan pernah memenangkan perkara korupsi.
"Kenapa hakim dengan track record seperti itu mendapatkan tugas menangani perkara yang sangat strategis," ucap Denny. "Kami kuatir ada indikasi praktik mafia hukum yang bisa mempengaruhi proses peradilan."
PRIHANDOKO
Baca berita lainnya:
Cerita Ahok: Jokowi Bukan Takut Bu Mega Tapi...
MA: Gugatan Praperadilan Budi Gunawan Sulit
Calon Kapolri Baru, Ini Sinyal Jokowi ke Kompolnas
KPK vs Polri: 3 Momen Kedekatan Jokowi dan Mega