TEMPO.CO, Malang - Roadshow diskusi dan pemutaran film Years of Blur digelar di Warung Kelir, Kota Malang, Ahad, 26 Oktober 2014, pukul 19.00 WIB. Film dokumenter berdurasi 40 menit ini diproduksi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers Yogyakarta. Film ini berkisah tentang jurnalis Harian Bernas di Yogyakarta, Fuad Muhammad Syafruddin alias Udin. Pemutaran film ini terselenggara atas kerja sama Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Malang dengan (LBH) Pers Yogyakata.
"Kami mengajak mahasiswa, jurnalis, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat untuk mengenang Udin jurnalis yang dibunuh karena berita," kata koordinator advokasi AJI Malang, Hari Istiawan. Kasus terbunuhnya Udin selalu mengingatkan masyarakat atas ancaman kekerasan yang dialami pada jurnalis saat menjalankan kerja jurnalistik. Meski kasus Udin sudah berusia 18 tahun, sampai saat ini aparat penegak hukum gagal mengungkap pelaku pembunuhnya.
Terjadi impunitas atau pembiaran atas perkara kekerasan terhadap jurnalis. Delapan kasus pembunuhan jurnalis tak terselesaikan sampai saat ini. Naimullah, jurnalis Harian Sinar Pagi di Kalimantan Barat, ditemukan tewas pada 25 Juli 1997. Agus Mulyawan, jurnalis Asia Press di Timor Timur, tewas pada 25 September 1999).
Muhammad Jamaluddin, jurnalis kamera TVRI di Aceh, tewas pada 17 Juni 2003. Ersa Siregar, jurnalis RCTI, tewas di Aceh pada 29 Desember 2003. Herliyanto, jurnalis lepas tabloid Delta Pos Sidoarjo di Jawa Timur, ditemukan tewas pada 29 April 2006. Adriansyah Matrais Wibisono, jurnalis televisi lokal di Merauke, Papua, tewas pada 29 Juli 2010). Alfred Mirulewan, jurnalis tabloid Pelangi di Maluku, tewas pada 18 Desember 2010. Kasus tewasnya para jurnalis itu belum menemukan titik terang hingga sekarang.
Sekretaris LBH Pers Yogyakarta, Bambang Murdiyanto, menjelaskan, film Years of Blur telah diputar di sejumlah kota di Indonesia. Film dokumenter ini diputar agar masyarakat kembali ingat bahwa masih ada "tunggakan" kepolisian dalam hal kebebasan pers. Sejak awal, kematian Udin bukan hanya menjadi isu lokal, tapi menjadi perhatian internasional. (Baca: Kasus Pembunuhan Wartawan Udin Tidak Kedaluwarsa)
"Sebagian orang mulai lupa, sehingga film dokumenter ini diharapkan bisa membuka memori masa lalu tentang kasus pembunuhan Udin," kata Bambang. Film dokumenter ini telah diputar di Yogyakarta, Bandung, Semarang, Purwokerto, dan Surabaya. Di Malang, film ini akan diputar di sejumlah perguruan tinggi.
Udin terbunuh pada 16 Agustus 1996 setelah selama tiga hari dirawat di rumah sakit karena kepalanya dipukul oleh orang tak dikenal. Pembunuhan Udin terkait dengan tulisannya yang dikenal kritis terhadap pemerintah. (Baca juga: 17 Tahun Pembunuhan Udin, Ini Kisah Keluarga)
Rezim Soeharto yang berkuasa sejak 1965 tidak memberikan ruang cukup bagi kebebasan informasi dan kebebasan pers, sehingga setiap berita yang mengkritik rezim kekuasaan pasti mengalami intimidasi.
Reportase kritis Udin yang menonjol adalah kritik tajam terhadap Bupati Bantul Sri Roso Sudarmo, anggota Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat berpangkat kolonel. Misalnya, liputan tentang megaproyek Parangtritis yang sarat aroma korupsi dan suap Rp 1 miliar. Uang tersebut mengalir dari Sri Roso Sudarmo kepada Yayasan Dharmais milik Presiden Soeharto. Suap itu digelontorkan untuk pemenangan dirinya sebagai bupati untuk masa jabatan kedua. (Baca: Tiga Orang Ini Kunci Ungkap Kasus Udin)
Berita lainnya menyoal pemotongan dana Inpres Desa Tertinggal di Desa Karangtengah, Imogiri; sertifikasi tanah tak lancar di Desa Bawuran, Banguntapan; serta korupsi dalam proyek pelebaran jalan. Udin juga menyorot rapat-rapat pemenangan Golkar di rumah Noto Suwito yang dihadiri Sri Roso Sudarmo. Noto Suwito adalah adik Soeharto.
Setelah Udin meninggal, kepolisian Yogyakarta sempat memetakan kemungkinan penyebab peristiwa yang menimpa wartawan kritis itu. Dalam paparan di ruang Serse Kepolisian Wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (sekarang Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta), Kaepala Bagian Serse (ketika itu) Kapten Suko Hariyanto tidak menyebutkan hal lain sebagai kemungkinan penyebab penganiayaan Udin kecuali berita.
Sayang, proses penyelidikan terhenti. Polisi sebagai lembaga yang memiliki kewenangan melakukan penyelidikan tidak pernah berupaya menyisir berita sebagai latar belakang kasus. Padahal, dari banyak informasi lapangan, berita menjadi kemungkinan paling besar sebagai penyebab terbunuhnya Udin. Berhentinya penyeledikan kepolisian terhadap kasus Udin menimbulkan pertanyaan besar: apakah memang ada konspirasi? Apalagi yang bermasalah sejak awal dengan berita Udin berada di lingkaran bupati dan keluarga Istana Negara.
EKO WIDIANTO
Berita lain:
Nama Menteri Jokowi-Kalla Sudah Final
Habibie Dijenguk 'Istrinya'
Kisah Nizar, Pendaki Indonesia Hadapi Badai Himalaya