TEMPO.CO, Yogyarkarta - Puluhan mahasiswa yang tergabung dalam Dewan Mahasiswa Justicia Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta menggelar aksi bertajuk 'Menolak Lupa' di depan Istana Gedung Agung Titik Nol Kilometer, Yogyakarta, Selasa sore, 30 September 2014.
Dalam aksi itu, mahasiswa mengenakan pakaian serba hitam. Sejumlah poster diusung, di antaranya bertuliskan "Mereka Hidup dan Berlipat Ganda", "Jasadnya Telah Tiada, Syairnya Tetap Mengudara", dan "G30S, PKI??".
Para mahasiswa itu membentuk lingkaran dan berdoa sambil memegang tegak poster-posternya agar dapat terbaca pengendara jalan.
Koordinator aksi, Regen Erasi Sitindaon, menuturkan peristiwa G30S patut dikenang, namun dalam makna lebih luas pada era ini.
"Momentum G30S, menjadi refleksi untuk mengenang tentang sejarah pembungkaman suara-suara kritis yang pernah ada, melawan sistem," kata Regen. (Baca: Hari Kesaktian Pancasila, 560 Anggota DPR Dilantik)
Meski secara historis G30S merupakan peristiwa terbunuhnya tujuh jenderal yang kemudian disusul dengan pembantaian kader dan simpatisan Partai Komunis Indonesia, mahasiswa memilih memperingatinya dengan makna lebih luas.
"Peristiwa G30S yang masih samar kebenarannya itu, menjadi titik tolak pembungkaman suara-suara kritis lain di era Orde Baru," kata Regen.
Misalnya pembunuhan aktivis Hak Asasi Manusia Munir Said Thalib, aktivis buruh Marsinah, dan juga penghilangan penyair Widji Thukul. (Baca: Makna Kesaktian Pancasila bagi Jokowi)
Dari sejumlah rentetan peristiwa itu, mahasiswa pun menuntut pemerintah tak gampang mengubur peristiwa-peristiwa yang pernah menjadi sejarah dalam proses mewujudkan demokrasi dan mengungkap kebenarannya.
"Jangan sampai generasi terus dibodohi akibat pembelokan sejarah yang tak sempat diluruskan," kata Regen.
Pembungkaman suara rakyat ini juga dikaitkan dengan lahirnya Undang-Undang Pemilu Kepala Daerah. UU ini mengembalikan mekanisme pemilihan kepala daerah pada DPRD.
Mahasiswa menuding UU itu bagian dari sikap mengembalikan otoritarianisme bidang politik. Karena membuat para elite partai politik mengendalikan kekuasaan lewat pilkada tidak langsung.
"Raja-raja kecil yang menggerogoti kekayaan daerah akan semakin banyak karena UU Pilkada ini membuat hubungan legislatif eksekutif saling tergantung," kata Regen.
PRIBADI WICAKSONO
Berita Lain
Tak Penuhi Kuorum, UU Pilkada Tak Sah
SBY Mau Batalkan UU Pilkada, Mahfud: Itu Sia-sia
Saran Yusril ke Jokowi Dianggap Jebakan Batman