TEMPO.CO, Jakarta - Para pengaju uji materi pasal perkawinan mengungkap alasan mereka meminta legalisasi pernikahan beda agama ke Mahkamah Konstitusi. Menurut Rangga Sujud Widigda, pengaju gugatan, mereka ingin tuntutan itu lebih nyata, tak hanya memprotes di media sosial.
Rangga bersama Damian Agata Yuvens, Anbar Jayadi, dan Luthfi Sahputra pada 4 Juli 2014 mengajukan uji materi Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan kepada Mahkamah Konstitusi. Pengajuan ini, kata Rangga, untuk memberi kepastian dan perlindungan terhadap hak konstitusional setiap warga negara Indonesia, khususnya hak beragama, hak untuk melangsungkan perkawinan, dan hak untuk membentuk keluarga. (Baca: Negara Jangan Memonopoli Tafsir Nikah Beda Agama)
Menurut Rangga, keinginan untuk menuntut legalisasi nikah beda agama itu berawal dari kekhawatiran mereka yang menganggap Undang-Undang Perkawinan sudah berjalan 40 tahun, dan melanggar hak konstitusional warga. "Sehingga kami, tanpa kepentingan personal, mencoba membela hak yang terlanggar tadi," ujarnya kepada Tempo, akhir pekan lalu. (Baca: Soal Nikah Beda Agama, UU Perkawinan Digugat)
Rangga mengaku terinspirasi dari kata-kata Gandhi: "Be the changes that you want to be in the world". "Karena kita melihat kebanyakan anak muda kalau ada masalah, ya, protes di media sosial, nge-twit di Twitter. Sehabis nge-twit di Twitter atau posting di Path, apa yang terjadi? Enggak ada," katanya.
Rekannya, Damian, mengamini pernyataan Rangga. Damian mengaku ingin memperlihatkan bahwa generasi seumuran mereka bisa berbuat lebih dari sekadar memprotes. "Kami bisa berbuat lebih daripada sekadar berbicara di media sosial. Kami bisa melakukan sesuatu yang nyata melalui jalur hukum yang sudah disediakan. Kurang-lebih seperti itu," katanya.
FEBRIANA FIRDAUS
Baca juga:
KPU Pilih Ashraf Ghani Jadi Presiden Afghanistan
Rupiah Melemah, Harga Tahu Tempe Terancam Naik
AS Bebaskan 14 Napi Pakistan dari Penjara Balgram
Tarif Batas Atas Baru Pesawat Segera Disahkan
PDIP: Koalisi dengan PAN dan PPP Sudah Final