TEMPO.CO, Jakarta - Ayung alias Tan Harry Tantono, Komisaris Utama PT Sanex Steel Indonesia, kembali santer diberitakan setelah dalam persidangan Anas Urbaningrum dia disebut membelikan rumah mewah kepada Anas di kawasan Duren Sawit, Jakarta Timur.
Padahal, pada 26 Januari 2012, dia ditemukan tergeletak berlumuran darah di atas sofa di kamar 2701 Swiss-Belhotel, Jakarta Pusat. Mengenakan kemeja merah jambu, tubuhnya penuh bacokan dan lehernya menganga terkena sayatan. Jenazah Ayung dimakamkan di Surabaya pada 1 Februari 2012.
Pembunuhan itu melibatkan belasan orang dari kelompok Kei, yang terkenal dalam peta bisnis pengawalan, jasa pengamanan, dan penagihan utang di Ibu Kota. Enam orang dari kelompok Kei ditahan polisi dan dijadikan tersangka kasus pembunuhan berencana. Mereka adalah Candra, Tuce, Ancola, Dani, dan Kupra. Pimpinan mereka, John Refra alias John Kei, kemudian ditangkap pada 17 Februari 2012.
Ayung memiliki nama asli Tan Harry Tantono. Dia lahir di Surabaya pada 1961. Kemudian ia diboyong oleh keluarganya ke Cina. Tahun 2000-an, Ayung kembali ke Indonesia. Sebelum mendirikan perusahaan, ia menjadi warga negara Indonesia. (Baca: Atut Hadapi Vonis, Anas: Ini Pak Atut Datang)
Berdasarkan penuturan Carel Ticualu, mantan pengacara Ayung, kepada Tempo beberapa waktu lalu, basis usaha Ayung adalah pabrik besi baja yang ia dirikan bersama tiga rekannya pada Desember 2004. Awalnya perusahaan yang ia dirikan bernama PT Sanex Steel Indonesia, kemudian berubah menjadi PT Power Steel Mandiri seiring dengan perubahan komposisi pemegang saham. Ia menguasai 30 persen saham ketika perusahaan tersebut baru dibentuk dan menjabat komisaris utama.
Pabrik yang terletak di daerah Balaraja, Tangerang, Banten, itu mengolah besi-besi tua menjadi besi-besi baru. "Saya tidak tahu asetnya berapa. Tapi, kalau Anda lihat sendiri, pabriknya besar sekali," kata Carrel. (Baca: Saksi: Nama Istri Anas Dihapus dari PT Dutasari.) "Pabriknya diperhitungkan dalam peta bisnis pabrik besi."
Selain punya pabrik besi, Ayung juga menjajaki bisnis lain. Di antaranya pabrik pembuatan pipa besi dan tambang permata di Kalimantan Barat.
Carrel, yang juga mengundurkan diri sebagai pengacara Anas Urbaningrum pada 19 Juni 2014, mengatakan Ayung rajin bolak-balik Cina untuk melakukan lobi dengan bank dan pengusaha di sana. "Sebulan sebelum dibunuh, dia baru dari Cina," katanya.
Dia juga rajin ke Singapura, melawat keluarganya yang tinggal di sana. Ayung punya empat anak dan satu istri. Anak yang paling tua saat ini berumur 19 tahun, dan paling muda 6 tahun.
Setelah pembunuhan, keluarga menyerahkan penghitungan aset perusahaan Ayung kepada tim kuasa hukum. Keluarga tidak berniat meneruskan bisnis Ayung. "Keluarga minta sahamnya dijual saja," kata Carrel. (Baca: Hadiri Sidang Hambalang, Anas: Agak Teler)
Menurut sumber Tempo, jaringan bisnis baja yang dibangun Ayung tidak hanya di dalam negeri, tetapi juga sampai di tanah leluhurnya, Cina. Seperti ditulis majalah Tempo edisi 27 Februari-4 Maret 2012, sumber itu mengungkapkan bahwa sejumlah partai politik, antara lain Golkar dan Demokrat, pernah mendapat sumbangan dari perusahaannya. Dia dikatakan juga cukup dekat dengan petinggi partai atau pejabat sekelas menteri di negeri ini.
Menurut Carel, Anas mulai kenal dengan Ayung beberapa tahun lalu, tepatnya sebelum kongres Partai Demokrat di Bandung, Jawa Barat, 2010. "Saya yang kenalkan Anas dengan Ayung," katanya kepada Tempo, 8 Juli 2013.
RIDHO JUN PRASETYO
Berita Terpopuler
Foto Bugil Jennifer Lawrence Asli
Ketua KPK: Jero Wacik Lakukan Pemerasan
Diundang SBY, Prabowo Tak Datang
Pembelaan Jenderal Sutarman untuk Polisi 'Narkoba'
Bekas Dirut PPA Kecelakaan Di Tol Cipularang