TEMPO.CO, Yogyakarta - Material hujan abu vulkanik, yang mengguyur kawasan Daerah Istimewa Yogyakarta setelah erupsi Gunung Kelud, tak kunjung menghilang selama dua hari terakhir. Sebagian warga sudah berupaya membersihkan abu vulkanik di sekitar permukimannya, namun debu tetap bertebaran karena mudah tertiup angin. (Baca: Alasan Kelud Dijuluki 'Deadliest Volcano')
Ketua Magister Manajemen Bencana UGM, Profesor Sudibyakto mengatakan abu vulkanik di Yogya bisa menjadi masalah serius apabila hujan tidak kunjung datang. Pakar manajemen penanganan bencana ini memperkirakan bulir halus abu vulkanik bisa bertahan menyelimuti udara DIY sampai dua minggu apabila tak kunjung ada hujan. "Ukuran butirannya sangat halus, mudah melayang di udara," kata dia, di Pusat Studi Bencana Alam (PSBA) UGM pada Sabtu, 15 Februari 2014. (Baca: Jangan Langsung Siram Abu Vulkanik)
Sudibyakto mengatakan, ingin mengajak Majelis Ulama Indonesia (MUI) DIY menyerukan kepada warga muslim agar melaksanakan salat sunat meminta hujan atau Salat Istisqa. Menurut dia abu vulkanik tidak hanya membuat aktivitas pendidikan dan ekonomi mandeg, namun juga mengancam kesehatan pernafasan dan kualitas udara serta air di DIY. "Secara teori, abu ini bisa mempercepat proses kondensasi di awan yang memicu hujan. Tapi, hujan sekarang tidak turun-turun," kata dia.
Masalahnya, solusi menciptakan hujan buatan juga buntu. Menurut Sudibyakto upaya ini tidak hanya memakan biaya besar, tapi juga susah sebab sampai akhir pekan ini penerbangan pesawat di atas langit DIY berbahaya. "Ini bisa jadi kajian baru penanganan efek bencana api di Indonesia," kata dia.
ADDI MAWAHIBUN IDHOM
Terpopuler:
Letusan Gunung Kelud Jadi Perhatian Dunia
BNPB Bantah Gunung Kelud Akan Meletus 2 Jam Lagi
SBY Angkat Mbah Rono Jadi Kepala Badan Geologi