TEMPO.CO, Yogyakarta - Ketua Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) Yogyakarta Irsyad Thamrin menilai hakim Pengadilan Negeri Sleman, Asep Komara, malas menemukan terobosan hukum baru untuk memenuhi rasa keadilan. Kritik Irsyad merujuk pada putusan Asep yang menolak gugatan pra-peradilan kasus pembunuhan wartawan Udin pada awal Desember 2013 lalu.
Dia menyatakan ini dalam "Eksaminasi dan Diskusi Publik atas Putusan Pra-peradilan Kasus Wartawan Udin" di Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta (FH UAJY) pada Selasa, 28 Januari 2014. Forum itu digelar oleh Pusat Bantuan dan Konsultasi Hukum FH UAJY dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Cabang Yogyakarta.
Menurut Irsyad, hakim mengabaikan keterangan saksi ahli, yakni Eddi Hiariej, yang menilai penanganan kasus pembunuhan wartawan Udin dihentikan secara diam-diam. Meski tak ada surat penghentian penyelidikan dan penyidikan (SP3) dari kepolisian, penanganannya mandek hingga hampir 17 tahun berlalu. "Nilai-nilai keadilan diabaikan," ujar Irsyad.
Dia berpendapat putusan hakim yang hanya berdasar pada telaah formil Pasal 1 butir ke-10 KUHAP dan Pasal 77 KUHAP mengabaikan tugas ini. "Seharusnya berupaya menemukan hukum baru karena pembahasan RUU KUHAP untuk memperbaiki kelemahan pra-peradilan berlarut-larut," kata dia.
Menurut Irsyad, sudah ada hakim yang berupaya melakukan terobosan. Hakim PN Jakarta Pusat, Supraja, melakukannya pada November 2010. Supraja mengabulkan gugatan pra-peradilan yang meminta kejaksaan segera melimpahkan berkas perkara korupsi Gubernur Bengkulu Agusrin Najamudin ke Pengadilan.
Pakar hukum dari Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Mudzakkir, menganggap hakim mengabaikan peluang untuk memperluas kewenangan, atau secara acontrario, lembaga pra-peradilan. Menurut dia, pra-peradilan tak hanya untuk menguji keabsahan wewenang penahanan, penangkapan, dan penyidikan yang merugikan tersangka. "Kompetensi pra-peradilan bisa dikembangkan untuk menguji keabsahan tidak digunakannya wewenang penyidikan," kata dia.
Mudzakkir berpendapat pembunuhan wartawan Udin merupakan contoh kasus sensitif di Yogyakarta, seperti tragedi Sum Kuning pada awal 70-an. Dalam kasus Sum Kuning, menurut dia, kebuntuan teratasi karena ada intervensi langsung dari Kapolri Jenderal Hoegeng. "Kasus Udin butuh solusi serupa, harus ada intervensi kapolri dan gelar perkara di Jakarta yang diawasi langsung oleh Kompolnas," kata Mudzakkir.
Pengajar FH UAJY, Aloysius Wisnubroto, menyarankan Tim Advokasi Pencari Keadilan Udin (TAPKU) yang mendampingi pemohon gugatan ini, PWI Yogyakarta, segera mengajukan kasasi setelah upaya banding ditolak. Apabila gagal, pengajuan peninjauan kembali (PK) atas putusan hakim harus dilakukan.
ADDI MAWAHIBUN IDHOM