TEMPO.CO, Yogyakarta - Universitas Gadjah Mada memastikan akan mencabut pemberlakuan aturan larangan mahasiswa menganut dan menyebarkan paham ateis atau agama, ajaran, dan kepercayaan yang tidak diakui oleh negara. Larangan yang terdapat pada Peraturan Rektor Nomor 711/P/SK/HT/2013 tentang Tata Perilaku Mahasiswa UGM Pasal 12 itu sebelumnya berlaku sejak 26 Agustus 2013. Sejumlah akademikus dan alumnus kampus ini mengkritik aturan tersebut di sejumlah milis dan media sosial sejak akhir Desember tahun lalu.
Juru bicara UGM Wijayanti mengatakan Rektorat UGM akan menerbitkan aturan perubahan yang tidak mencantumkan pasal tersebut. Namun, dia belum bisa memastikan waktu penerbitan peraturan perubahan itu. "Sekarang masih dalam proses penyusunan aturan baru," kata dia kepada Tempo pada Kamis, 9 Januari 2014.
Baca Juga:
Menurut Wijayanti, penerbitan peraturan rektor baru tentang tata perilaku mahasiswa UGM tersebut memerlukan konsultasi dengan Senat Akademik. "Keputusan terakhir, aturan itu (Pasal 12) akan dicabut," kata dia.
Wijayanti juga memberikan pernyataan tertulis Rektor UGM, Pratikno, yang menjawab sejumlah kritikan terhadap pemberlakuan aturan ini. Di pernyataan tertulis itu, Pratikno menyatakan meminta maaf atas pencantuman Pasal 12 itu. "Tidak ada niat untuk membatasi keberagaman mahasiswa," kata dia dalam pernyataan tertulis itu.
Dia menyatakan Rektorat UGM sepakat dengan kritik terhadap aturan itu yang bisa berpotensi menimbulkan dampak buruk bagi prinsip menjaga keberagaman. Pratikno menyatakan peraturan tata perilaku mahasiswa UGM pada dasarnya disusun untuk membentuk etika akademik di tengah upaya kampusnya mendorong kebebasan mimbar akademik.
Dia juga menyatakan kampusnya tetap berupa berkomitmen untuk menjaga pluralisme dan mengembangkan keberagaman untuk kepentingan demokrasi dan kebangsaan. Menurut Pratikno, substansi peraturan tata perilaku mahasiswa UGM semestinya mengembangkan tradisi ilmiah dan dialog sekaligus kebebasan akademik serta mimbar akademik.
Dia menambahkan alasan rencana pencabutan aturan itu disebabkan pencantuman pasal tersebut bisa menimbulkan multitafsir dan dikhawatirkan menimbulkan dampak buruk. "Kami membuka diri untuk menerima saran dan kritik demi penyempurnaan kehidupan demokrasi dan tradisi ilmiah di UGM," kata Pratikno.
ADDI MAWAHIBUN IDHOM