TEMPO.CO, Jakarta - Korban kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia membutuhkan penyelesaian. Bentuk penyelesaiannya bergantung kepada pemerintah yang bertanggung jawab atas peristiwa kekerasan selama ini. Perlunya penyelesaian perkara ini diutarakan Koalisi Keadilan dan Pengungkapan Kebenaran (KKPK) yang pekan lalu melakukan uji kesaksian terhadap sejumlah korban.
KKPK berharap menjelang akhir kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, setelah 10 tahun menjabat, SBY menepati janji kepada korban untuk menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu. "Presiden masih punya waktu sampai Agustus 2014," ujar koordinator Koalisi Keadilan dan Pengungkapan Kebenaran, Kamala Chandrakirana, kepada Tempo, Jumat, 29 November 2013.
KKPK merupakan lingkaran masyarakat sipil dari lembaga swadaya masyarakat yang mendokumentasikan kasus pelanggaran HAM selama 40 tahun, yakni sejak tahun 1965 hingga 2005. Dalam proses dokumentasi itu, KKPK menemukan kasus pelanggaran HAM yang tak pernah diadili sebanyak 948 kasus.
Untuk mendokumentasikan profil kasus itulah KKPK menyelenggarakan agenda dengar kesaksian korban yang telah dilakukan di beberapa daerah pascakonflik, seperti di Palu, Aceh, Kupang dan Solo. Acara kesaksian dilakukan pada 25-29 November 2013 di Jakarta.
KKPK menyelenggarakan dengar kesaksian yang menggali pengalaman korban dalam pusaran peristiwa pelanggaran HAM, mulai Aceh hingga Papua. Proses dengar kesaksian itu meliputi berbagai tema kasus kekerasan, seperti kekerasan terhadap perempuan, kekerasan dalam operasi militer, kekerasan dalam ideologi, serta kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Ada pula kekerasan berbasis sumber daya alam dan kekerasan terhadap pembela HAM. Dalam proses dengar kesaksian itu, KKPK menghadirkan 28 korban kekerasan dari berbagai latar belakang konflik dan jenis kekerasan, mulai kekerasan fisik, seksual, perampasan hak milik dan keluarga korban penghilangan paksa.
"Acara seperti ini menyerupai proses Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Proses itu dilakukan oleh negara lain yang juga berkonflik. Di Indonesia pernah ada Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, tapi dibatalkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat," ujar Kamala.
Hingga kini, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi tak pernah terbentuk. Menurut Kamala, perlu ada kewenangan moral seperti yang dilakukan KKPK untuk mendengarkan kebenaran dari peristiwa yang dialami korban. Dengan proses dengar kesaksian ini, Kamala berharap ada pengaruh terhadap kebijakan negara untuk menuntaskan kasus ini.
"Masyarakat tidak akan menunggu lagi. Kami yang akan melakukan seluruh proses dan membuat forum. Walaupun tidak ada legalitas dari negara, tapi kami punya otoritas moral yang mewakili warga yang peduli. Ini pendidikan publik dan tanggung jawab negara," kata Kamala.
Dalam proses dengar kesaksian korban itu, KKPK menghadirkan korban dari berbagai latar belakang persitiwa pelangagran HAM seperti kekerasan seksual pada 1965 di Yogyakarta, kekerasan terhadap perempuan pada peristiwa Biak Berdarah 1998, peristiwa Marabia di Timor-Leste, peristiwa Tanjung Priok dan lainnya.
NURUL MAHMUDAH