TEMPO.CO, Kediri - Dokter kejiwaan Polri, Ronny Subagya, menduga bunuh diri yang dilakukan anggota Polres Nganjuk, Brigadir Satu Bambang Setiawan, akibat gangguan psikologis spesifik. Gangguan semacam ini tak bisa diidentifikasi melalui pemeriksaan psikologis rutin yang dilakukan kepada anggota kepolisian pemegang senjata.
Dihubungi melalui telepon, Ronny mengatakan, ada tiga hal yang memicu seseorang melakukan bunuh diri. Pertama, mengalami gangguan jiwa berat yang berdampak pada kehilangan daya realita. Kedua, mengalami gangguan psikomotorik. Dan yang ketiga, akibat posisi sosial yang baik. "Kemungkinan yang ketiga ini bisa jadi dialami korban," kata Ronny, Senin, 25 November 2013.
Ronny menambahkan, sebelum mengakhiri hidupnya, pelaku bunuh diri biasanya menderita depresi. Akibatnya, pelaku tak lagi merasa memiliki harapan, putus asa, dan tidak ada gunanya hidup. Dengan demikian, pilihan satu-satunya adalah mati.
Depresi seperti ini bisa muncul karena akumulasi persoalan yang cukup panjang dan terjadi dalam waktu lama atau bukan tiba-tiba. Namun, kata Ronny, beberapa orang bisa juga mengalami depresi karena sesuatu yang mendadak dan tidak bisa diatasi oleh akalnya.
Jika mengacu pada pernyataan Kapolri Jenderal Sutarman bahwa Briptu Bambang Setiawan bunuh diri karena diduga malu setelah mengambil barang milik orang lain, bisa disimpulkan korban didera gangguan psikologis spesifik. Persoalan ini menghantam titik kelemahan psikologisnya hingga menimbulkan gangguan kejiwaan hebat.
Jika benar korban malu karena mengambil barang orang lain sementara dirinya adalah polisi, hal itu akan mengguncang sisi kelemahan jiwanya. Ini karena sejatinya korban tidak memiliki sifat mencuri. "Jadi harus dibuktikan dulu kebenaran penyebabnya, apakah benar karena mengambil barang orang lain seperti kata Pak Kapolri atau bukan," kata Ronny.
Gangguan ini, menurut Ronny, bersifat mendadak dan tak bisa dideteksi. Hal ini sekaligus menjelaskan mengapa gangguan kejiwaan atau depresi yang dialami Briptu Bambang ini tak terlacak saat mengikuti psikotes sebagai pemegang senjata api. Sebab, sebagaimana diketahui, setiap polisi pemegang senjata api harus mengikuti psikotes secara berkala.
Dan karena memiliki senjata api, otomatis upaya untuk melakukan bunuh diri ini menjadi lebih besar dibandingkan orang biasa yang tak memegang alat. Karena itu, Ronny menyangkal jika insiden ini disebut sebagai bentuk kelemahan psikotes kepolisian terhadap pemegang senjata. "Kalau depresinya bersifat akumulasi, pasti sudah terlacak," kata dia.
Seperti diketahui, Briptu Bambang Setiawan, anggota Sabhara Polres Nganjuk, tewas setelah mengakhiri hidupnya di ruang jaga Sentra Pelayanan Kepolisian (SPK), Ahad sore. Dia meninggal setelah tiga peluru dari senapan serbu jenis V-2 memberondong dadanya hingga tembus ke punggung.
HARI TRI WASONO
Baca juga:
TKI Dapat Warisan Rp 9,5 Miliar dari Majikannya
Singapura Turut Bantu Australia Sadap Indonesia
Begini Peran Singapura dalam Penyadapan Australia
Petugas Israel Kunjungi Arab Saudi Diam-diam
Gara-gara Penyadapan, Popularitas Abbot Turun
Ribuan Warga Pakistan Blokir Jalur Suplai NATO