TEMPO.CO, Melbourne - Kelas menengah di Indonesia tumbuh luar biasa dalam satu dekade terakhir. Namun, Indonesia harus menghindar dari jebakan pendapatan kelas menengah (middle income trap).
Menurut Wakil Presiden Boediono, dalam pidatonya di Monash University, Australia, Jumat pagi, istilah middle income trap merujuk pada negara berkembang yang sudah mencapai tingkat pendapatan tertentu, lalu karena berbagai sebab, pertumbuhan ekonominya mandek.
Gejala negara yang terkena jebakan ini antara lain adalah rasio investasi yang mandek, timbulnya berbagai masalah di pasar kerja dan kebijakan tenaga kerja, serta kegagalan meningkatkan sektor manufaktur.
Gejala lainnya, kata Boediono, adalah ketika suatu negara berkembang kesulitan berkompetisi dengan negara berpendapatan rendah di mana upah kerja sangat rendah dan negara berpendapatan tinggi dengan teknologi lebih maju.
Wakil Presiden memberikan ilustrasi soal kesulitan Indonesia dalam berkompetisi di sektor-sektor tertentu dengan negara-negara berkembang di Asia yang upahnya lebih rendah dari Indonesia, tapi juga tak mampu bertarung dengan negara-negara seperti Taiwan, Korea Selatan, dan Singapura yang punya industri dengan teknologi tinggi.
Karena itu, kata Wakil Presiden, saat ini Indonesia bisa dikatakan terjebak di tengah. "Kita harus berpikir keras bagaimana meningkatkan daya kompetisi ekonomi kita,” kata Boediono.
Menurut Wakil Presiden, yang harus dilakukan Indonesia adalah berfokus pada pendidikan dan isu lapangan kerja, serta inovasi dan teknologi. “Tapi, Indonesia masih kekurangan guru berkualitas di semua tingkat, dan distribusinya belum merata."
Hingga 2013, berbagai kebijakan dan inisiatif penting telah diambil. Beberapa di antaranya adalah perbaikan kurikulum sekolah, penyediaan subsidi bagi siswa kurang mampu, serta penggunaan teknologi komunikasi dan informasi dengan harga terjangkau.
Menurut Boediono, pendidikan online masih dalam tahap perencanaan, tapi aplikasinya diharapkan bisa dilakukan secara nasional mulai tahun depan. “Ke depan, kita ingin lebih banyak perubahan teknologi yang bisa meningkatkan produktivitas,” kata Wapres.
Menurut Wapres, Indonesia tak bisa hanya menunggu mukjizat. Pemerintah harus membuat sistem insentif yang pas, program pengembangan sumber daya manusia di bidang teknologi, kebijakan-kebijakan untuk memperkuat hubungan sektor sains dan teknologi serta dunia bisnis, dan skema pendanaan yang suportif untuk sains dan teknologi.
Di awal pidatonya, Wapres Boediono mengatakan ia merasa gembira bisa kembali ke kampus Monash, tempat dia mengambil kuliah pascasarjana selama dua tahun. Boediono lulus pada 1972.
Monash juga telah memberinya gelar doktor honoris causa yang kedua pada awal Februari tahun ini. “Namun saya hanya salah satu contoh dari begitu banyak hubungan yang terjalin antara Monash dan Indonesia setelah sekian lama,” kata Boediono.
MTQ (Melbourne)