TEMPO.CO, Surabaya - Gubernur Jawa Timur Soekarwo mengaku pusing tujuh keliling merumuskan besaran upah minimum buruh. Sampai sekarang pembahasan upah minimum kabupaten/kota belum juga kelar. "Saya ini lagi pusing. Bagaimana kemudian Dewan Pengupahan Gresik dan Pasuruan (menentukan UMK) lebih tinggi dari Surabaya," kata Soekarwo saat ditemui seusai acara peringatan Hari Kesehatan Nasional di Kantor Dinas Kesehatan Jawa Timur, Rabu, 13 November 2013.
Upah minimum tertinggi diusulkan oleh Kabupaten Gresik dengan Rp 2,37 juta, disusul Kabupaten Gresik Rp 2,31 juta. Sedangkan Surabaya sebagai ibu kota provinsi Jawa Timur hanya mengusulkan Rp 2,2 juta.
Baca Juga:
Diakui Soekarwo, selama ini tidak ada peraturan yang melarang upah minimum di ibu kota provinsi lebih rendah dari kabupaten/kota lain. Namun, terkait norma dan rumusan kebijakan, sewajarnya Kota Surabaya yang paling tinggi. "Ini adalah soal norma. Norma itu digrayahi kroso tapi gak ono bentuke (diraba terasa tapi tidak ada bentuknya). Ini bagaimana merumuskan sebuah kebijakan," kata mantan Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Timur ini.
Kegagalan menentukan UMK, kata Soekarwo, dikarenakan survei kebutuhan hidup layak dilakukan sendiri-sendiri di kabupaten/kota. Padahal telah disepakati bahwa survei dilakukan oleh Badan Pusat Statistik.
Menurut Soekarwo, sampai sekarang sudah ada 33 kabupaten/kota yang melaporkan usulan UMK ke Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Namun sebagian besar tanpa ditandatangani pengusaha. Meski demikian, Soekarwo memastikan tetap ada keputusan soal upah minimum pada 21 November nanti.
Soekarwo menyatakan akan mengembalikan usulan UMK jika tidak ditandatangani oleh pemerintah, buruh, dan pengusaha. "Kalau hanya pemerintah sama buruh, saya enggak mau. Kalau hanya bipartit, saya kembalikan," kata Soekarwo.
Guna membicarakan masalah ini, Soekarwo berencana memanggil Asosiasi Pengusaha Indonesia Jawa Timur pada Rabu malam, 13 November 2013. Ia berharap para pengusaha bisa tunduk dengan survei yang dilakukan para ahli tentang belanja gaji buruh.
Dia menyayangkan sikap pengusaha yang tidak mau menandatangani usulan tersebut. Kalaupun mereka beralasan adanya pungutan liar, harusnya pengusaha terbuka. "Mereka teriak ada pungli, sudah saya buka, tapi enggak ada yang lapor," ujarnya.
AGITA SUKMA LISTYANTI