TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti hubungan internasional LIPI, Ganewati Wulandari, mengatakan praktek penyadapan antarnegara bukan hal baru. Dia menilai praktek intersepsi informasi ini sama tuanya dengan peradaban manusia.
"Pada Perang Dunia I dan II, praktek ini terjadi," kata Ganewati dalam diskusi Polemik Sindo Radio di Cikini, Sabtu, 9 November 2013. Setelah perang dunia berakhir, lima negara yakni Australia, Selandia Baru, Inggris, Amerika Serikat, dan Kanada mengikat perjanjian pertukaran data intelijen.
Untuk Indonesia, isu disadap sebenarnya bukan ini saja. Pada 2004, Kedutaan Besar Indonesia di Myanmar pernah disadap oleh pemerintah setempat. Namun, kata Ganewati, isu penyadapan ini menjadi isu internasional karena implikasinya menyangkut banyak negara dan orang penting. "Ini mengakibatkan guncangan dalam hubungan internasional," kata dia.
Pengamat intelijen dari Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia, Rizal Darmaputra, mengatakan kegiatan spionase saat ini berbeda dengan masa Perang Dingin. Dulu hanya ada dua kubu sehingga pemetaan kegiatan spionase lebih gampang dilakukan. Seusai Perang Dingin, kegiatan spionase lebih merata dan dinamis. "Negara sahabat pun perlu dimata-matai," kata dia.
Rizal mengatakan, Indonesia seharusnya mengevaluasi aparat intelijen untuk mencari tahu informasi apa saja yang dikumpulkan Australia dan Amerika dari Indonesia. "Saya pikir semua kedutaan melakukan aksi intelijen," ujar dia.
WAYAN AGUS PURNOMO
Terpopuler
Empat Selingkuhan Hakim Vica Menulis Testimoni
Alasan Agama, Keluarga Tak Restui Pernikahan Vica
Tamu Tengah Malam di Rumah Hakim Vica
Anas: `Bunda Putri` Tinggal di Rumah Saya
Saksi: Istri Piyu Tabrak Rumah Adiguna
Jokowi: Biar Orang Kapok Masuk Busway
LG G Pro Lite Dual Resmi Beredar di Indonesia
Pengamat: Aburizal Takut Jokowi Nyapres
Microsoft Berencana Ubah Nama Stadion Real Madrid