TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Komunikasi dan Informatika hingga kini belum bisa mengkonfirmasi keberadaan dan penggunaan fasilitas intelijen untuk penyadapan di Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta. "Kami belum tahu bagaimana kebenarannya," kata Kepala Pusat Informasi dan Humas Kemenkominfo, Gatot S. Dewa Broto, saat dihubungi Tempo, Kamis, 31 Oktober 2013.
Menurut dia, jika benar ada fasilitas penyadapan di kedutaan mereka, Amerika dipastikan melanggar regulasi di Indonesia. Salah satunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE, Pasal 26 dan 31. "Di Indonesia, oleh pihak siapa pun, baik dalam atau luar negeri, yang namanya melakukan penyadapan itu dilarang," ujar Gatot.
Terkecuali, ia melanjutkan, penyadapan dilakukan untuk kepentingan tertentu, misalnya yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi. "Ini diatur dalam Pasal 31 Undang-Undang tentang ITE tersebut," kata Gatot.
Meski begitu, Kementerian Informasi tak bisa serta-merta melakukan pengecekan ke Kedutaan Amerika ihwal ada atau tidaknya fasilitas penyadapan ini. Alasannya, secara protokoler, upaya ini harus lebih dulu melalui Kementerian Luar Negeri. "Kemarin Kementerian Luar Negeri sudah menyampaikan protes," ujarnya.
Kondisi tersebut, kata Gatot, berbeda jika ada pengaduan langsung oleh siapa pun yang merasa dirugikan oleh penggunaan fasilitas penyadapan di Kedutaan Amerika. "Tidak perlu lewat Kementerian Luar Negeri," ucap dia. Menurut dia, kasus seperti ini masuk ke ranah pidana dan Kementerian Informasi bisa bertindak sebagai saksi ahli.
Sebelumnya, pemerintah meminta Amerika Serikat memberi penjelasan ihwal keberadaan dan penggunaan fasilitas intelijen untuk penyadapan di kedutaan besarnya di Jakarta. "Kami telah berbicara dengan kepala perwakilan Kedutaan AS di Jakarta untuk menuntut penjelasan resmi pemerintah Amerika atas pemberitaan yang dimaksud," kata Menteri Luar Negeri Indonesia, Marty Natalegawa, kemarin.