TEMPO.CO, Jakarta - Fraksi Partai Amanat Nasional mendukung langkah pemerintah membentuk Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi. Pembentukan Majelis Kehormatan ini penting untuk mengawasi perilaku dan etika hakim konstitusi.
"Potensi hakim melanggar etika bisa terjadi setiap waktu," kata Ketua Fraksi PAN, Tjatur Sapto Edy, saat dihubungi, Sabtu, 19 Oktober 2013. Dia mengatakan, ketentuan mengindikasikan pengaturan mengenai Mahkamah lebih demokratis dalam sistem ketatanegaraan.
Tiga hari lalu, Yudhoyono meneken Perpu tentang Mahkamah Konstitusi. Perpu itu berisi tiga hal penting, yakni persyaratan, mekanisme penjaringan dan pemilihan, serta pengawasan hakim konstitusi. Perpu ini terbit setelah penangkapan Ketua Mahkamah Konstitusi nonaktif Akil Mochtar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
Tjatur menuturkan, Majelis Kehormatan tidak bertentangan dengan putusan Mahkamah terkait dengan kewenangan pengawasan Mahkamah Konstitusi. Pada 2006, Mahkamah memutuskan bahwa Komisi Yudisial tak berwenang mengawasi hakim konstitusi.
Dia menegaskan, Majelis Kehormatan merupakan lembaga yang diisi oleh dua pihak yakni MK dan KY. "Jadi pengawasan ini bukan domain KY karena ada dua lembaga yang mengawasi hakim," kata dia.
Penyusunan kode etik dan perilaku hakim oleh dua pihak juga penting. Kode etik hakim konstitusi seharusnya tidak hanya dirumuskan oleh satu lembaga saja. Dalam negara demokratis, tidak boleh ada lembaga negara yang berjalan tanpa pengawasan.
Apalagi, kata Tjatur, untuk lembaga dengan kewenangan luas yang menafsirkan konstitusi. "Kalau dibuat sendirian oleh Mahkamah Konstitusi, ibarat jeruk makan jeruk," kata Tjatur.
Dalam Perpu, Majelis Kehormatan terdiri dari lima orang. Kelima orang ini terdiri dari mantan hakim MK, praktisi hukum, dua akademisi dan tokoh masyarakat. Masa jabatan Majelis Kehormatan ini selama lima tahun dan sesudahnya tidak dapat dipilih kembali.
WAYAN AGUS PURNOMO