TEMPO.CO, Surabaya - Kepala Bidang Sumber Daya Kesehatan Dinas Kesehatan Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, Endang Sulastri meragukan hasil riset dosen Universitas Dr Soetomo Surabaya yang menyatakan, terdapat 13 jenis kerupuk asal Sidoarjo mengandung asam boraks. Namun dia tidak bersedia bicara banyak dengan alasan belum mengantongi bukti fisik. "Saya enggak bisa bicara dulu karena belum lihat buktinya. Jangan hanya mendasarkan penelitian saja, bukti fisiknya mana?," kata Sulastri, Senin, 7 Oktober 2013.
Menurut Sulastri, sebelum dilegalisasi dengan nomor registrasi pangan industri rumah tangga (PIRT), produsen kerupuk di Sidoarjo disaring melalui dua tahapan lebih dulu. Pertama, mengikuti penyuluhan keamanan pangan. Kedua, harus menyiapkan sarana produksi dan sumber daya manusia. Bila produsen keberatan dengan dua syarat itu, dinas kesehatan tidak akan mengeluarkan nomor registrasi PIRT. "Sebelum hasil penelitian itu diumumkan, perisetnya seharusnya datang ke kami untuk konfirmasi," kata Sulastri.
Kepala Badan Pengendali Obat dan Makanan (BPOM) Kota Surabaya, Endang Pujiwati, mengatakan kerupuk nonprotein berbahan asam boraks sebenarnya sudah lama beredar di pasar-pasar tradisional Surabaya. Pihaknya secara acak dan berkala selalu mengambil sampel produk kerupuk yang dipasarkan. Sampel kerupuk lantas diuji produk lewat laboratorium.
Jika ditemukan kandungan bahan berbaya, tim BPOM langsung melaporkannya ke dinas kesehatan setempat. "Saya akui, banyak ditemukan bahan berbahaya di produk pangan skala industri rumah tangga. Sejak 3 tahun lal, kerupuk boraks itu sudah ada," kata Pujiwati.
Temuan dosen Universitas Dr Soetomo ihwal kerupuk boraks, kata Pujiwati, justru menyusut. Sebab, sebelumnya malah lebih dari 13 jenis kerupuk boraks beredar di Surabaya. Namun, meski menemukan bahan berbahaya dalam kerupuk, BPOM tak bisa serta merta menyita dan memberikan sanksi kepada penjual. Alasannya, industri kerupuk tidak meregistrasi izin ke BPOM, melainkan ke dinas kesehatan.
Peredaran kerupuk lintas batas, menurut Pujiwati, makin menyulitkan regulator menindak produsennya. Kerupuk yang dijual di Surabaya, misalnya, tidak hanya berasal dari produsen di kota tersebut, sehingga Pujiwati mengaku tidak bisa menjatuhkan sanksi pidana karena kerupuk-kerupuk itu tergolong PIRT. Produsen kerupuk yang nakal, kata dia, biasanya hanya diberi pembinaan dan penyuluhan. "Kalau pelakunya industri kerupuk skala besar, bisa dikenai sanksi pidana karena risikonya tinggi," kata Pujiwati.
Sebelumnya, dosen Fakultas Pertanian Universitas Dr Soetomo, Fadjar Kurni Hartati, menyatakan telah menemukan 13 jenis kerupuk nonprotein yang mengandung asam boraks. Dari hasil riset, kandungan boraks paling rendah 11,8 ppm dan tertinggi 120 ppm. Padahal, sesuai Permenkes Nomor 722 Tahun 1988 tentang Tambahan Bahan Makanan yang Dilarang, boraks termasuk bahan dilarang untuk makanan.
DIANANTA P. SUMEDI