TEMPO.CO, Yogyakarta--Pemerintah Kabupaten Gunung Kidul mulai tahun ini meminta seluruh sekolah dari jenjang Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas menerapkan pemakaian seragam batik bagi para siswanya.
Kepala Dinas Pendidikan Gunung Kidul Sudodo kepada Tempo menyatakan kebijakan pemakaian seragam batik ini telah tertuang dalam Surat Keputusan Bupati Gunungkidul nomor 176/KPTS/2013 yang terbit awal Agustus 2013 lalu. Dalam surat keputusan itu, seragam batik yang dianjurkan dipakai sekali sepekan itu merupakan batik Walang Jati Kencono produksi pengrajin batik Desa Tancep, Kecamatan Ngawen.
"Kebijakan seragam batik ini sifatnya himbauan, bukan wajib, jadi penerapannya tergantung manajemen sekolah," kata Sudodo Rabu (28/8).
Ia mengungkapkan kebijakan tersebut dilatarbelakangi meningkatkan gairah produktifitas pengrajin batik Gunung Kidul yang tak memiliki pasar pasti. Lain halnya dengan perajin dari kawasan Bantul atau Kota Yogyakarta.
Pemilihan desain batik Walang Jati Kencono, kata dia, berdasarkan perlombaan desain batik yang diselenggarakan pemerintah Gunung Kidul tahun lalu. Gunung Kidul sendiri memiliki tiga corak batik yang dikenal yakni Sekar Jagad Gunung Kidul, Walang Jati Kencono, dan Walang Sinanding Jati.
"Untuk seragam sekolah ini kebetulan yang menang Desa Tancep, Kecamatan Ngawen, jadi produksi dipusatkan disana tahun pertama ini," kata dia. Soal produksi ini rencananya dilakukan bergilir dari sentra satu ke sentra lainnya setiap tahun.
Sedangkan untuk kalangan Pegawai Negeri Sipil sendiri akan menggunakan jenis Walang Sinanding Jati. Karena bersifat himbauan, dinas pendidikan meminta sejumlah sekolah menginventarisir kemampuan para wali murid. Diprediksi harga batik seragam berkisar Rp 70-80 ribu per unit. "Jika ada siswa miskin dan ada yang mampu, bisa menggunakan subsidi silang atau mekanisme sendiri di luar. Yang jelas tidak boleh ada pemaksaan pungutan seragam," kata dia.
Sementara Kepala Dewan Kesenian Kerajinan Daerah Yogyakarta Tri Kirana Muslidatun mengatakan perajin batik di Yogyakarta terus menggeliat usai adanya pengakuan dari Unesco. Hal tersebut mendorong sejumlah perajin sadar atas kekayaan intelektualnya dan mendaftarkan karyanya sebagai Hak atas Kekayaan Intelektual. "DI Yogyakarta tahun ini sudah 40 perajin yang karyanya terdaftar dalam HKI," kata dia.
Berdasarkan data dari Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi dan Pertanian Kota Yogyakarta tahun 2012 jumlah perajin batik yang terdaftar dan berijin sekitar 200 unit usaha lebih.
PRIBADI WICAKSONO