TEMPO.CO, Jakarta - Amelia Yani cukup sensitif pada hal-hal yang berhubungan dengan ayahnya, Jenderal Ahmad Yani. Ia mudah tersinggung ketika orang lain mempertanyakan perjuangan ayahnya, Panglima Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat, yang tewas pada peristiwa 30 September 1965. Suatu ketika, salahsatu anak Dipa Nusantara Aidit, pemimpin Partai Komunis Indonesia, menyatakan Lubang Buaya tidak ada. “Saya menangis saking marahnya," kata Amelia, bulan lalu.
Aidit memimpin PKI pada usia 31 tahun. Hanya perlu setahun, ia melambungkan suara partai itu masuk empat besar partai di Indonesia. Tapi prahara 1965 membuat dia dan partainya, yang dianggap bertanggung jawab, diburu habis. Lubang Buaya adalah daerah yang dijadikan tempat pembuangan jenazah sejumlah jenderal, termasuk Ahmad Yani.
Menurut Amelia, anak Aidit lainnya, Iwan, segera meminta maaf atas pernyataan saudaranya soal Lubang Buaya. Sejak itu, keluarga dua tokoh yang berseberangan itu berhubungan baik. Mereka terhubung melalui wadah bersama: Forum Silaturahmi Anak Bangsa.
Forum itu digagas tiga anak tokoh yang secara politis berseberangan pada masa lalu: Tigor Siregar, Soleh Denny Alamsyah, dan Suhardi Nurdin. Tigor adalah putra Amir Hamzah Siregar, seorang Digulis—para tahanan politik yang dikirim ke Boven Digul, Papua. Soleh merupakan putra Alamsyah Ratu Prawiranegara, jenderal menteri agama era Orde Baru. Adapun Suhardi Nurdin adalah aktivis Pemuda Panca Marga. Tujuannya, mempertemukan anak-anak korban konflik politik.
Suryo Susilo, anak bekas pejabat Badan Koordinator Intelijen Negara, yang memimpin forum, menceritakan, gagasan itu mulai diwujudkan pada pertengahan 2002. Anak-anak yang masih diliputi saling dendam didekati agar mau duduk bersama. Ia mengatakan upaya itu tidak mudah. Untuk itu, pendekatan dilakukan secara personal.
Ia mencontohkan, Joesoef Faisal, putra Soetan Husinsyah Nasution, pendiri Lembaga Veteran, mengajak karibnya, Sugiarto Soeparjo, putra tokoh "jenderal merah”--sebutan untuk perwira yang dianggap pro-PKI. Mereka menemui Nani Nurracham Oerip, putra Mayor Jenderal Anumerta Sutojo Siswomiharjo, juga korban tragedi 1965.
Joesoef dan Tigor kemudian menghubungi pengurus Pemuda Panca Marga--ketika itu dipimpin Djoko Purwongemboro. Suryo juga bagian dari organisasi sayap Partai Golkar ini. Semua sepakat, pendekatan dilakukan secara pribadi, bukan kelembagaan. “Sebab, masih ada pro-kontra mengenai ide itu,” kata Suryo, yang kemudian mengajak sahabatnya, Perry Omar Dhani, putra mantan Kepala Staf TNI Angkatan Udara Marsekal Purnawirawan Omar Dhani.
Pendekatan terus dilakukan demi terwujudnya wadah mempertemukan anak-anak korban konflik. Setelah beberapa pertemuan, mereka semakin akrab. Pada awalnya, suasana pertemuan begitu kaku. Semua kaget harus bertemu dengan kerabat yang berseberangan ideologi dengan orang tua mereka di masa lalu.
Peserta forum semakin banyak. Mereka pun sepakat mengadakan silaturahmi. Pada 25 Mei 2003, pertemuan dilaksanakan di Hotel Park Lane, Jalan Casablanca, Jakarta Selatan. Sebanyak 41 orang hadir dan sepakat membentuk Forum Silaturahmi Anak Bangsa. Semboyannya: ‘Berhenti Mewariskan Konflik, Tidak Membuat Konflik Baru”.
SETIAWAN ADIWIJAYA | MARIA YUNIAR | LINDA HAIRANI
Berita Terpopuler:
5 Teknologi yang Mengancam Manusia
Ini Kronologi Aksi Gadis Pemotong 'Burung'
Sidang Kasus Cebongan, Hakim dan Oditur Ketakutan
Mantan Napi Ungkap Kengerian Penjara Korea Utara
Beragam Penyebab Rupiah Terjun Bebas