TEMPO.CO, Yogyakarta - Samsu Muin Harahap masih menyimpan banyak memori tentang teror mencekam yang dialami keluarganya 17 tahun lampau. Saat itu, salah satu adik Wartawan Bernas, Fuad Muhammad Syafrudin alias Udin, yang meninggal pada 16 Agustus 1996 setelah koma tiga hari akibat dihajar orang tak dikenal, tersebut belum lama mengenyam bangku kuliah.
"Bagi kami (keluarga Udin), tulisan-tulisan penak jamanku tho (Slogan bergambar wajah Soeharto dengan tagline "Piye Kabare? Penak Jamanku Tho?") tidak benar. Tetap enak sekarang (pasca reformasi)," kata Muin. Dia mengatakan ini ketika mengenang kakaknya di sela ziarah ke makam Udin yang digelar Koalisi Masyarakat Untuk Udin (K@mu) untuk memperingati 17 tahun pembunuhan Wartawan Harian Bernas itu di Kompleks Pemakaman Dusun Gedongan, Desa Trirenggo, Bantul pada Jumat, 16 Agustus 2013.
Muin belum lupa, di hari ke-97 pasca Udin meninggal, ada 30-an massa memakai tutup muka dan membawa senjata tajam menggeruduk rumahnya. Rombongan massa itu memang tidak menyerbu rumah keluarga Udin. Mereka hanya berkali-kali menggeber raungan gas motor di jalanan depan halaman rumah keluarga Udin. "Itu salah satu teror paling mencekam bagi kami," ujar Muin.
Menghadapi teror itu, Muin dan dua saudaranya hanya berdiri di depan rumah sambil menenteng senjata tajam. Meskipun di dalam rumahnya puluhan kerabat dan tetangga keluarga Udin juga bersiaga, mereka tidak berniat keluar dari pekarangan untuk menyerbu massa itu. "Banyak teman mewanti-wanti agar tidak keluar pekarangan rumah begitu ada massa datang. Khawatirnya, sekali kami keluar, langsung bisa dipidanakan dengan tuduhan penghadangan," kata Muin.
Saking seringnya teror datang, Muin dan kerabatnya terpaksa giliran berjaga pada malam hari di sekitar gerbang masuk kampung yang menjadi satu-satunya akses menuju rumah Udin dari jalan raya. Kata Muin mereka biasa memantau situasi saat malam dari kompleks pemakaman tempat Udin dikubur, yang tak jauh dari gerbang kampungnya. "Kami pantau orang mencurigakan yang keluar masuk kampung dan mengabarkannya ke rumah dengan alat radio amatir," ujar dia.
Muin mengaku tidak ingat lagi berapa lama keluarganya menghadapi situasi mencekam seperti itu. "Waktu itu, saya sampai terbiasa tidur merangkul pedang," ujar dia.
Bagi Muin, pengalaman pasca Udin terbunuh itu merupakan bukti negara pernah tidak memberikan perlindungan kepada keluarganya. "Kami pernah tidak menerima perlindungan dari negara, sekaligus belum diberi keadilan huum hingga kini," kata dia.
Menurut Muin keluarganya tidak hanya mengalami teror pasca kakaknya meninggal, tapi juga indikasi manipulasi hukum oleh aparat negara. Hingga kini, dia menganggap polisi sebenarnya sudah memiliki cukup bukti untuk menangkap semua pelaku pembunuh Udin.
Istri Udin, Marsiyem, kata Muin, sudah memberi keterangan sketsa wajah semua tamu yang mendatangi rumahnya beberapa saat sebelum Wartawan Bernas itu roboh bersimbah darah pada 13 Agustus 1996. Namun, polisi justru menetapkan Iwik sebagai tersangka sehingga memunculkan kesimpulan pembunuhan Udin berlatar perkara perselingkuhan. "Jelas-jelas bukan dia (Iwik), kami yakin kang Udin dibunuh karena berita-beritanya," ujar Muin.
Menurut Muin, meski telah berlarut belasan tahun hingga kasusnya terancam kedaluwarsa pada 16 Agustus 2014 mendatang, keluarga Udin tetap menuntut keadilan. Harapan ini, kata dia tak pernah surut meski ayah Udin, Wagiman telah meninggal dan ibunya, Mujilah, tutup usia beberapa bulan lalu. "Tapi, melihat respon kepolisian selama ini, mungkin hanya keajaiban yang bisa membuat kasus kakak saya tuntas," kata dia.
ADDI MAWAHIBUN IDHOM
Topik terhangat:
Suap SKK Migas | Sisca Yofie | Rusuh Mesir | Arus Balik Lebaran
Terpopuler:
Hal Paling Ganjil Sebelum Sisca Yofie Tewas
Penyebab Kasus Rudi Rubiandini Versi Jusuf Kalla
SBY Pidato Kenegaraan dan RAPBN 2014
Ini Komentar Ketua PPATK M. Yusuf Soal Suap Migas
Saksi: Sisca Yofie Diseret dengan Tangan