TEMPO.CO, Jakarta - Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) menemukan sekitar 35 persen makanan olahan yang beredar di pasaran selama Ramadan tak layak edar. Ini kesimpulan dari hasil pengujian BPOM terhadap 3.037 sarana distribusi pangan olahan seperti toko, supermarket, dan pasar.
Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya, Roy Sparinga, mengatakan nilai keekonomian pangan tak layak itu mencapai Rp 6,9 miliar, dengan dominasi makanan ilegal sebanyak 76 persen atau setara Rp 5,2 miliar. "Makanan ilegal ini tak memenuhi izin edar dan banyak ditemukan di daerah perbatasan dan pelabuhan pintu masuk dengan negara tetangga," kata Roy pada Kamis, 1 Agustus 2013.
Menurut Roy saat ditemui di kantornya, jenis produk ilegal yang paling banyak ditemukan adalah cokelat, minuman energi, minuman kaleng, dan kembang gula. Meski tak banyak, pangan lain seperti sirup, margarin, selai, sereal, mentega, biskuit, tepung, dan penyedap juga ditemukan beredar tanpa izin. Produk jenis ini banyak ditemukan di Batam, Pekanbaru, Aceh, Pontianak, dan Jakarta, yang berasal dari beberapa negara seperti Malaysia, Singapura, Thailand, Jerman, Amerika Serikat, dan Kamboja.
Dalam pantauannya, BPOM juga menemukan 1.844 produk kadaluarsa dengan nilai keekonomian mencapai Rp 1 miliar. Produk kadaluarsa ini banyak beredar di daerah yang jauh dari sentra produksi dan distribusi seperti Aceh, Jayapura, Kupang, Palangkaraya, dan Kendari. "Sulitnya transportasi menjadi salah satu penyebab lambatnya pergantian barang di daerah-daerah ini." Jenis makanan kadaluarsa yang banyak ditemukan misalnya biskuit, bumbu instan, dan makanan ringan.
Produk pangan olahan rusak juga banyak ditemukan di Batam, Kendari, Aceh, Jambi, dan Lampung. Kondisi rusak ini biasanya disebabkan penanganan selama distribusi yang tak tepat. Produk rusak ini umumnya ikan kaleng, susu kental manis, dan buah dalam kaleng. Produk rusak ini lumayan banyak yaitu 964 produk dengan jumlah kemasan 3.907. "Nilai keekonomiannya mencapai Rp 156 juta."
Sementara temuan lain yaitu makanan yang tak memenuhi ketentuan label dengan nilai keekonomian 1,3 juta. Misalnya, tak menyertakan bahasa indonesia dalam kemasan produknya. Kemasan yang tak sesuai standar juga masuk kategori ini. Temuan label ini banyak ditemukan di sentral industri rumah tangga seperti Surabaya dan Semarang.
Roy melanjutkan, sebagai tindak lanjut atas temuan peredaran pangan tak layak ini, BPOM telah melakukan pembinaan dan penegakan hukum. Penegakan hukum berupa sanksi administratif, peringatan, perintah pengamanan di tempat, dan perintah pemusnahan.
BPOM juga menempuh jalur hukum dengan melapor ke kepolisian untuk menindak pelaku usaha yang sudah berulang kali diberi peringatan dan pada pelaku usaha yang melakukan peredaran barang tak layak dalam jumlah besar dan ilegal. Sesuai Undang-Undang Nomor 7 tahun 1996 tentang pangan, ancaman hukuman untuk kasus peredaran pangan ilegal adalah pidana penjara maksimum 3 tahun atau denda maksimal Rp 360 juta.
Pada 2011, BPOM telah memproses 140 kasus dengan 52 kasus pro-justicia, dan 88 kasus non pro-justicia. Pada 2012, jumlah kasus yang ditangani meningkat menjadi 145 dengan penyelesaian pro-justicia 49 kasus dan non pro-justicia sebanyak 96 kasus. Dalam tiga tahun terakhir sudah ada sekitar lima kasus yang dikenai hukuman baik penjara maupun denda.
Roy berharap, selain penindakan tegas dari lembaganya, masyarakat juga pro-aktif dalam memilih produk yang akan dibeli. Publik diminta lebih peduli terhadap bahan pangan yang akan dimakan dan menyadari bahaya besar di balik konsumsi makanan tak layak.
Kepala Balai Besar POM Jayapura Hans Kakerrisa mengakui banyaknya barang tak layak edar di Papua akibat kurangnya pengawasan. Saat ini dari 29 kabupaten/kota yang ada di Papua, BPOM baru bisa menjangkau 13 kabupaten dan kota. Faktor daya beli masyarakat diakui turut memperbanyak produk pangan tak layak edar.
IRA GUSLINA SUFA