TEMPO.CO, Jakarta--Dengan logat Melayu, Muhammad Hanif (38), salah seorang dari pengungsi etnis muslim Rohingya Myanmar datang di kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia bersama rombongannya. Saat itu adalah Jumat, 5 Juli 2013 malam hari. Dengan total berjumlah 18 orang, mereka lalu tidur berhimpitan di atas sebuah karpet yang cukup tebal.
Saat ditemui Tempo pada Rabu, 10 Juli 2013 di YLBHI, nampak wajah penuh harapan mereka. "Kami hanya ingin menyeberang ke Australia agar anak-anak kami bisa baca-tulis," kata seorang pengungsi lainnya Muhammad Qosim (28). Di sela-sela kami berbincang, terdengar tangisan kecil balita yang ternyata anak Qosim. Nur Saiba namanya. "Ia lahir empat bulan lalu di tempat persembunyian, sebuah kebun sawit di Medan," katanya mengenang. Yang menjadi bidannya adalah mertuanya sendiri yang tak pernah mencicipi pendidikan formal.
Enam bulan silam, mereka berencana melarikan diri dari Malaysia ke Negara Kangguru. Mereka sudah bolak-balik ke kantor PBB di Malaysia untuk mengurus perizinan pindah. Namun usaha mereka tak berbalas. Padahal beberapa rekan mereka sudah ada di Australia baik sembunyi-sembunyi atau resmi. "Kami nekat berangkat sendiri," kata Hanif. Dimulailah petualangan mereka hingga akhirnya bisa "terdampar" di Jakarta.
Awalnya mereka berhasil menyeberang hingga ke Medan. Sesampai di sana, mereka berjumpa dengan seseorang yang mengaku bisa membantu Hanif dan rombongannya agar sampai ke Malaysia. "Dulu saya juga pernah membantu orang Rohingnya seperti kalian. Saya tahu caranya," kata Hanif menirukan orang yang hingga kini tidak dikenalnya. Ia pun menerima tawaran tersebut dan ditempatkan di sebuah rumah tua di kebun sawit.
Selama dua bulan itu, mereka diharuskan untuk membayar 5 ribu Ringgit Malaysia per-kepala. Saat mereka tanya kapan akan diberangkatkan, orang asing tersebut bilang secepatnya. Hingga akhirnya mereka diberangkatkan dengan bus selama tiga hari-tiga malam ke Bogor.
Setelah istrahat di sebuah perkampungan di Bogor lagi-lagi Hanif bertanya kapan akan diberangkatkan ke Australia. Yang ada justru bentakan dari tuan rumah. Hingga akhirnya mereka diantar ke Wisma Alam di sekitar Bandara Soekarno-Hatta. "Di sana kami ditempatkan dalam bilik kecil," kata Hanif. Ia juga mengatakan bahwa banyak orang yang tinggal bersama dengan rombongan mereka. Mereka dikunci dari luar.
Di situlah mereka diperlakukan dengan kasar. "Mereka merampas uang dan barang berharga bahkan menggeledah isi tas kami," ucap Hanif. Tak jarang mereka mendapat bogem mentah dari orang yang mengaku sebagai pemberi jasa penyeberangan. Hingga akhirnya mereka kabur dan berhasil ke kantor PBB Indonesia yang terletak di Kebun Sirih pada 4 Juni 2013.
Sampai di sana mereka juga ditolak PBB. "Status kewarganegaraan kami masih dipertanyakan," tukas Hanif. Sejak saat itu, ia pun berpindah dari satu masjid ke masjid lainnya hanya untuk berteduh dan mengharap belas kasih warga sekitar untuk memberi mereka makan. Namun, mereka sadar bahwa tak bisa terus-menerus hidup di Masjid. "Apalagi kami membawa balita dan perempuan."
Hingga akhirnya, ada seorang yang mengatakan agar menginap di kantor YLBHI saja. "Kami pun memakai uang sedekah yang diberikan warga untuk YLBHI dengan naik bajaj."
MUHAMMAD MUHYIDDIN
Topik Terhangat:
Ramadan| Bursa Capres 2014| Ribut Kabut Asap| Tarif Progresif KRL| Bencana Aceh
Baca juga:
Pemain Muslim Mengubah Liga Inggris
Menang 79-0, Klub di Nigeria Dibekukan
Ahok Lawan Preman di SMPN 289
Kronologi Pemerkosaan Wartawati