TEMPO.CO, Jakarta -Baik buruk sejarah setiap bangsa harus diajarkan secara jujur bahkan bila itu menyangkut hal-hal yang menyakitkan termasuk peristiwa-peristiwa kelam, penindasan, kerusuhan berdarah yang memakan korban. Generasi muda, terutama, berhak mendapatkan informasi yang benar dan akurat mengenai sejarah negerinya-termasuk setiap peristiwa penegakan demokrasi, hak asasi manusia dan kebebasan berbicara. "Itu sebabnya Tempo, sebagai suatu institusi dan organisasi media di Indonesia, konsisten melakukan liputan-liputan mengenai pelanggaran hak asasi--juga pembelokan sejarah oleh para penguasa."
Wahyu Muryadi, Pemimpin Redaksi Tempo menyampaikan hal itu dalam pidato penerimaan the Gwangju Prize for Human Rights Special Award 2013 di Gwangju, Korea Selatan pada Sabtu malam, 18 Mei 2013. Dihadiri hampir 500 orang tamu dari berbagai kalangan-mulai dari aktifis HAM Korea mau pun berbagai belahan dunia; perwakilan pemerintah dan organisasi internasional; akademisi, profesional, dan media malam anugerah ini berlangsung meriah.
Acara berlangsung di Gedung Yayasan Peringatan 18 Mei, Gwangju-268 kilomenter dari Seoul, ibukota Republik Korea Selatan.
Yayasan 18 Mei-berdiri pada 1999-adalah penyelenggara acara ini sejak tahun 2000. Sekretaris Jenderal Yayasan, Chanho Kim menyatakan, tujuan mereka adalah agar generasi muda Gwanju dan Korea mendapat informasi yang benar tentang gerakan demokratisasi di Gwangju-dan di Korea. "Lebih dari itu kami ingin menggalang sebanyak mungkin kota-kota di dunia agar peduli dan terlibat langsung dalam penegakan HAM, demokrasi, dan kebebasan berbicara," ujarnya kepada Tempo.
Pada 1980, di bawah rezim Chun Doo-hwan, militer "menduduki kota ini" selama 9 hari, 18 - 27 Mei, untuk memadamkan gerakan demokratisasi di Kota Gwangju. Warga sipil dan mahasiswa bahu-membahu melawan dan bertahan. Korban jatuh diperkirakan hingga hampir 2000 orang. "Saya menyaksikan dengan mata kepala aliran jenasah dan manusia yang berdarah-darah karena ditembak dan dipukul dibawa masuk ke ruang gawat darurat rumah sakit di kota kami, " ujar Yoon Jang Hyun, seorang dokter gigi senio dan Direktur Asia Bridge-organisasi yang bergerak di bidang HAM. Pada masa berdarah itu, Hyun masih seorang mahasiswa mahasiswa dan giat membantu merawat para korban.
Pemenang the Gwangju Prize for Human Rights 2013 jatuh ke tangan H.I.J.O.S (Hijos e Hijas por la Identitad y la Justicia contra el Olvido y el Silencio). Berbasis di Cordoba, Argentina, organisasi ini didirikan oleh putra-putri yang hilang tanpa kabar di bawah rezim diktator Argentina antara 1976 - 1983. Parodi Julia, 26 tahun, dan Marcus Kary, 25 tahun, naik panggung untuk menerima hadiah utama tahun ini. Keduanya telah aktif di H.I.J.O.S selama lima tahun lebih. "Sampai kini baru sebagian kecil dari 30.000 orang hilang karena korban militer yang ditemukan," ujar Julia yang membacakan pidato."Kita harus memastikan bersama agar jangan lagi peristiwa buruk ini terulang," dia menegaskan.
Kedua penerima anugerah HAM Gwangju ini mendapat plakat, piala, dan uang. "Kami akan menggunakan hadiah US$ 50.000 ini untuk kegiatan H.I.J.O.S dan sedikit menyenangkan seluruh organisasi yang selama bertahun-tahun bekerja secara probono.
Sebagai penerima hadiah khusus, Tempo mendapat plakat, piala, dan uang US$ 10.000. "Kami akan sungguh-sungguh menjaga agar kehormatan besar ini, yang dipercayakan kepada kami, tak akan sia-sia," kata Wahyu di akhir pidatonya- yang mendapatkan tepuk tangan meriah dari seluruh peserta. (Lihat juga: Tokoh Gwangju Prize For Human Rights Sebelum Tempo)
HERMIEN Y. KLEDEN (GWANGJU, KOREA SELATAN)
Topik terhangat:
PKS Vs KPK | E-KTP | Vitalia Sesha | Ahmad Fathanah | Perbudakan Buruh
Berita lainnya:
EDISI KHUSUS Cinta dan Wanita Ahmad Fathanah
Dengar Pengakuan Maharani, Perasaan Sefti Hancur
Selingkuh, Begini Fathanah Minta Maaf
Cerita Sopir Fathanah Soal Paket Duit ke Luthfi