TEMPO.CO, Simeulue - Belasan pekerja tampak sibuk mempersiapkan lobster untuk dikirim ke luar Pulau Simeulue, di tempat penangkaran milik Mahlil, kawasan Teluk Sinabang. Udang-udang berukuran besar itu diambil dari sejumlah kolam. “Lobster kami kirim ke luar pulau. Jakarta menjadi tujuan utama,” kata Mahlil kepada Tempo akhir pekan lalu.
Setiap pekan, ratusan kilogram lobster diangkut dari pulau yang kaya hasil laut itu. Menurut Mahlil yang sudah 20 tahun berbisnis lobster, ada pula yang mengekspor ke luar negeri.
Menurut Mahlil, lobster dibeli dari nelayan dengan harga Rp 150 ribu sampai Rp 250 ribu per kilogram, bergantung pada besar dan kecil ukurannya. Setelah ditangkar di kolam-kolamnya yang luas yang berhadapan dengan laut lepas, Mahlil menjualnya dengan harga Rp 300 ribu sampai Rp 450 ribu per kilogram.
Hari itu, Mahlil akan mengirim 200 kilogram lobster ke Jakarta. Namun harus melewati jalur yang berliku. Lobster terpaksa dikirim melalui laut menggunakan kapal feri. Setiba di daratan Aceh Selatan, harus ditangkar lagi di Nagan Raya sebelum diangkut ke Banda Aceh untuk kemudian dibawa ke Jakarta.
Butuh waktu hampir satu minggu untuk sampai ke Jakarta. Ini memang kendala yang dihadapi para pengusaha lobster di Simeulue. Itu sebabnya, Mahlil berharap lebih banyak perusahaan maskapai penerbangan yang beroperasi di pulau tersebut.
Sebelumnya, Mahlil mengandalkan maskapai Nusantara Buana Air (NBA). Namun, tanpa diketahui penyebabnya, pesawat terbang NBA tidak lagi beroperasi di Simeulue.
Saat ini, satu-satunya pesawat yang terbang ke Simeulue adalah Susi Air. Namun, perusahaan pemilik Susi Air juga berusaha di bidang penangkaran lobster. Selain mengangkut penumpang, juga lobsternya sendiri tanpa bersedia mengangkut milik perusahaan lain.
Penglima Laot (lembaga adat nelayan laut) Simeulue, Riswan Panter, menyayangkan kenyataan tersebut. Padahal, selain beragam jenis ikan, lobster menjadi kekayaan pulau tersebut. Dari sekitar 90 ribu jiwa penduduknya, sebanyak 3.500 orang bekerja sebagai nelayan.
ADI WARSIDI